dc.description.abstract | Fakta-fakta menunjukkan bahwa seseorang sulit menerima argumentasi logis, kendati itu sesuai dengan kaidah keilmuan, bila itu menyangkut agama. Filsuf Belanda Herman Dooyeweerd (1894-1977) pemah mengomentari fenomena serupa. Menurutnya, manusia selalu dipengaruhi oleh motif religius. Motif religius memengaruhi wilayah intelektual, bukan sebaliknya. Karena itu, diskusi yang terjadi pada wilayah intelektual tidak akan pemah memengamhi motif religius.
Di sisi lain, ada fenomena penggunaan pendekatan klasikalis dalam menunjukkan kelayakdipercayaan iman Kristen. Sebagaimana telah dimengerti, apologetika klasikalis adalah pendekatan apologetika yang menggunakan beragam pembuktian (proof) dan bukti (evidence), seperti logika, sejarah, sains, dan disiplin ilmu lainnya. Tujuan akhir dari apologetika, bila menggunakan pendekatan ini, adalah membawa seseorang untuk semakin menyetujui kekristenan. Masalahnya, bila Dooyeweerd benar, yakni bahwa analisis intelektual tidak akan memengaruhi motif religius, maka peran dan fungsi dari apologetika klasikalis layak dipertanyakan.
Dalam penelitian ini, penulis menjelaskan kerangka dari dua cara kritik transendental yang dibangun Dooyeweerd selama 20 tahun di Vrije (Jniversiteit, Belanda. Kritik transendental menjelaskan bahwa preseden dari proses berpikir teoretis adalah sebuah tindakan apriori yang bersifat religius. Proses berpikir teoretis adalah proses dialektika yang terjadi pada ragam disiplin ilmu, seperti sains, sejarah, hukum dan yang lainnya. Dooyeweerd memberi nama padanya modalitas.
Modalitas, selain diteliti sebagai disiplin ilmu, juga merupakan cara berada dari realitas.
Dalam kritik transendental, seseorang pertama-tama akan menempatkan diri di titik Archimedean, yakni titik tempat dia menangkap realitas secara total dan tidak terseparasi dalam berbagai modalitas. Pada tahap itu, dia juga akan menentukan Muasal. Muasal adalah sesuatu yang diasumsikan menjadi asal mula dari segala sesuatu, tempat segala sesuatu bermula dan berakhir. Penentuan ini dikerjakan oleh ego, yakni totalitas diri manusia, pada wilayah religius. Hanya karena diawali proses inilah seseorang baru akan melakukan proses berpikir teroritis dalam modalitas.
Penulis meneliti sikap Dooyeweerd terhadap argumentasi-argumentasi klasikalis melalui dua elemen penting, yakni sikapnya terhadap para Thomis serta perbedaan pandangan tentang modalitas dengan para klasikalis. Dooyeweerd tidak setuju bila salah satu modalitas dianggap mampu menjelaskan realitas secara total. Berdasarkan hal itu, dan berdasarkan sikapnya yang tidak apresiatif terhadap para Thomis, penulis menganggap bahwa di mata Dooyeweerd, analisis teoretis yang biasa dikerjakan dalam pendekatan klasikalis tidak terlalu penting tampa terlebih dahulu seseorang menentukan titik Archimedean yang dia hidupi. Penentuan titik tersebut hanya bisa dipengaruhi oleh sesuatu yang juga bekerja pada wilayah religius, yakni Roh Kudus. | en_US |