dc.description.abstract | Ideologi tentang hierarki ras merupakan konstruksi sosial buatan manusia. Ideologi ini pertama kali diciptakan oleh bangsa Eropa di abad pertengahan untuk membenarkan sistem perbudakan terhadap bangsa lain. Cara menjalankan ideologi ini adalah dengan menanamkan kepercayaan tentang adanya ras superior dan inferior. Sementara, untuk mendukung kepercayaan tersebut, segala upaya pembelaan dilakukan, mulai dari dukungan biologis sampai teologis. Pengklasifikasian ras superior dan inferior sangat bergantung pada ciri fisik masing-masing orang atau kelompok. Dalam hal ini, ideologi hierarki ras jelas sangat menguntungkan orang kulit putih sebab mereka berada di posisi paling atas dan layak untuk memperbudak orang berwarna kulit lainnya. Berdasarkan kerangka ideologi hierarki ras inilah pemerintah kolonial Belanda membagi sistem sosial masyarakat Indonesia ke dalam tiga kasta besar: Eropa, Tiongkok, pribumi (warga asli Indonesia).
Pembagian masyarakat berdasarkan ras oleh Belanda berdampak pada segregasi di berbagai sektor sosial masyarakat, misalnya: tempat tinggal, politik, dan ekonomi. Segregasi dalam berbagai sektor tersebut menyebabkan kesenjangan ekonomi dan sosial di antara warga Tionghoa dan pribumi selama sekian ratus tahun lamanya. Akhirnya, konflik bertajukkan ras tidak dapat dielakkan lagi―tidak jarang pula korban berjatuhan akibat konflik tersebut. Kedua kelompok saling berbenturan, namun sering kali yang menjadi korban adalah warga keturunan Tionghoa. Konflik tersebut menorehkan pengalaman pahit, menyisakan duka, dan luka yang begitu mendalam bagi warga Tionghoa. Pengalaman sakit hati inilah yang kemudian menjadi cikal-bakal sikap rasisme orang Tionghoa kepada pribumi dalam gereja.
Menanggapi permasalahan ini, penulis mencoba menawarkan solusi yakni konsep ras Paulus. Secara singkat, konsep ras Paulus dapat dijabarkan ke dalam tiga poin pengajaran yakni: dibaptis di dalam Kristus, kesatuan di dalam kematian dan kebangkitan-Nya, serta manusia baru di dalam Dia. Inti dari ketiga pengajaran tersebut adalah bahwa semua umat percaya telah disatukan dalam satu identitas di dalam Kristus. Di dalam Kristus ada pengampunan, penerimaan, kesamaan, saling menghargai, dan menghormati. Tujuan akhir dari kebersatuan umat percaya di dalam Kristus adalah kesatuan umat percaya dalam gereja. Gereja dimampukan untuk bersatu sebab Kristus yang telah terlebih dahulu melakukannya bagi umat percaya.
Pengajaran Paulus mengenai identitas umat percaya, salib Kristus, dan tugas gereja, menjadi dasar teologis bagi umat percaya di masa kini (khususnya bagi gereja Tionghoa) untuk mengaplikasikannya dalam kehidupan. Di dalam Kristus, identitas seseorang tidak lagi dilihat berdasarkan ciri fisik, etnis, suku, dan golongan. Oleh sebab itu, tidak ada istilah superior-inferior, serta pembedaan perlakuan dalam gereja. Di dalam Kristus juga ada kasih, kasih yang cukup untuk mengampuni sesama dan membalut hati yang terluka oleh pengalaman masa lalu. | en_US |