dc.description.abstract | Kematian adalah realitas kehidupan yang tidak mungkin dihindari. Bagi kebanyakan orang, mendengar kata “kematian” saja sudah memunculkan kengerian karena sering kali kehadirannya sangat di luar dugaan, mendadak, tidak memberikan tanda-tanda maupun kesempatan untuk mempersiapkan diri, baik bagi individu yang bersangkutan maupun bagi orang-orang yang mengasihinya. Kematian menyebabkan seseorang mengalami penderitaan fisik dan derita emosional yang menusuk sekalipun kadarnya bisa berbeda pada masing-masing orang. Kematian membawa disintegrasi kehidupan, menyebabkan terputusnya relasi-relasi, baik pribadi, keluarga maupun sosial. Bisa dibayangkan bahwa penderitaan orang yang ditinggalkan sungguh tidak mudah untuk ditanggung. Bahkan, jika pengalaman-pengalaman ini dibiarkan dapat berdampak buruk terhadap kondisi jasmani, mental, rohani maupun social orang tersebut. Bagi mereka yang mengalami peristiwa kematian seorang anggota keluarga, dukacita yang dirasakan tidak serta-merta hilang begitu saja setelah proses pemakaman selesai. Pada umumnya justru setelah seluruh proses pemakaman selesai rasa keterhilangan itu baru sangat terasa. Karena dampak kedukaan itu sangat kompleks maka pelayanan kepada orang berduka juga perlu komprehensif. Sayangnya, fenomena yang justru sering kali terlihat adalah gereja melayani orang yang kedukaan secara parsial. Gereja cenderung lebih berfokus pada pelayanan kepada mereka di rumah duka karena inilah yang terjadi di sini dan sekarang (here and now). Padahal seseorang atau anggota keluarga yang ditinggal justru menghadapi masalah-masalah yang lebih kompleks setelah pemakaman selesai. Namun sayangnya, pelayanan kepada mereka malahan terabaikan oleh gereja. | en_US |