dc.description.abstract | “Jauh panggang dari api.” Ini adalah peribahasa yang tepat untuk menggambarkan realitas keadilan sehari-hari di Indonesia. Keadilan sebagai cita-cita bersama bangsa ini, yang tertuang secara sophisticated dalam Pancasila—sebagai konstitusi tertinggi negara, hanya tinggal idealisme yang sangat jauh dari pengejawantahannya. Nilai-nilai utama keadilan dalam Pancasila, seperti persatuan, kebebasan, kesederajatan, dan kekeluargaan, hampir menjadi seperti “sampah,” tak ada arti apa-apa lagi di negara ini. Indikator yang paling jelas dan nyata tentang kesenjangan ini adalah ketika ada (banyak?) warga negara Indonesia, khususnya yang miskin, terpinggirkan dan tertindas, yang masih tak terjamin hak-haknya secara hukum, sosial, politik, dan ekonomi. Celakanya, realitas ketidakadilan ini selalu hanya menjadi bahan tontonan dan obrolan yang nikmat dari masyarakat dari waktu ke waktu.
Namun, bagi TUHAN, masalah ketidakadilan bukan untuk ditonton dan diobrolkan, melainkan untuk dicari jawabannya. Melalui Kitab Taurat, TUHAN menyatakan “keadilan ilahi” kepada umat-Nya, orang-orang Israel, untuk dibaca, dipahami, dan dilakukan dengan setia. Desain awal Allah bagi umat-Nya adalah menjadikan mereka umat yang berkeadilan. Karena itu, Kitab Taurat menyediakan semacam cetakbiru sosial (social blueprint) yang selamanya menjadi acuan (model) bagi tatanan masyarakat yang ideal. Jatuh bangunnya umat Allah (Israel dan Gereja) bergantung pada berapa sesuainya hidup mereka dengan model tersebut. Lalu, apa dan bagaimanakah sesungguhnya teologi dan praksis keadilan di dalam kitab Taurat itu? | en_US |