Pengaruh Perceraian Orang Tua Terhadap Diri Anak serta Implikasinya Bagi Pelayanan Remaja di Gereja
Abstract
Angka perceraian yang meningkat selama lima tahun terakhir (2017-2021) di Indonesia, baik bagi kalangan Muslim dan nonmuslim, mengkhawatirkan pemerintah. Pemerintah melakukan upaya-upaya untuk mengatasi masalah ini, salah satunya mewajibkan konseling pranikah. Fenomena ini mengkhawatirkan karena ada berbagai dampak negatif dari perceraian, salah satunya terhadap anak. Berbagai penelitian menunjukkan kondisi psikologi dan perilaku yang buruk dalam anak korban perceraian. Melihat hal ini, tentunya bukan hanya pemerintah yang perlu berjuang memikirkan anak-anak korban perceraian, melainkan juga gereja, sebagai “keluarga” kerajaan Allah. Maka dari itu, penelitian ini dibuat untuk menjawab pertanyaan utama, yaitu bagaimana gereja dapat menjangkau dan melayani anak-anak korban perceraian?
Penelitian ini dibatasi hanya meneliti dampak perceraian dan bentuk pelayanan gereja bagi diri anak yang berada pada tahap remaja. Metode penelitian yang dipakai adalah analisis literatur, yaitu penulis melakukan analisis terhadap artikel-artikel penelitian mengenai dampak perceraian yang sudah ada, buku-buku tafsiran, dan buku-buku tentang pelayanan remaja di gereja. Sebelum menjawab pertanyaan utama di atas, ada beberapa hal yang perlu dibahas terlebih dahulu, yakni perspektif Alkitab dan landasan teori mengenai keluarga, perceraian, karakteristik anak remaja, dan pelayanan remaja. Kemudian dilanjutkan dengan pembahasan dampak perceraian bagi anak.
Dampak perceraian bagi anak yang dibahas melingkupi tiga area, yaitu kondisi mental, relasi sosial, dan spiritual. Berdasarkan tiga dampak tersebut, terdapat dua usaha yang dapat gereja upayakan dalam menjangkau dan melayani anak-anak korban perceraian. Usaha yang pertama berupa pembentukan konsep Gereja sebagai Keluarga (model Gereja-Keluarga), yaitu membangun suasana gereja yang bersifat kekeluargaan dan membangun komunikasi antara gereja dan orang tua remaja. Fokus dari usaha pertama tersebut adalah gereja dapat mengakomodasi kebutuhan suasana “kekeluargaan” bagi remaja korban perceraian yang baik, tetapi juga tidak mengambil alih peran orang tua. Sebab, bagaimana pun gereja tidak pernah bisa menggantikan keluarga dan sebaliknya. Usaha yang kedua membahas mengenai bentuk-bentuk pelayanan yang dapat dilakukan gereja. Setidaknya ada tiga hal yang dapat dilakukan, yakni: (1) pembentukan kelompok kecil yang intensional dan antargenerasi, (2) pelayanan konseling, dan (3) pemberdayaan remaja korban perceraian.