dc.description.abstract | Perkawinan merupakan rancangan Allah bagi manusia. Namun demikian sering kali perkawinan tidak dipersiapkan dengan baik sehingga terjadi berbagai persoalan. Salah satu persoalan dalam perkawinan adalah perkawinan campur. Perkawinan campur yang dimaksudkan pada penelitian ini adalah perkawinan dengan perbedaan kepercayaan iman. Di gereja GIII Gunma Jepang, di mana penulis melayani, terdapat beberapa fenomena perkawinan campur yang cukup menggelisahkan hati. Dampak buruk pasangan suami istri tidak seiman adalah dalam hal spiritual, ketidaknyamanan dalam melaksanakan keyakinan agamanya. Pengaruh psikologi, perbedaan agama dapat menyebabkan tekanan secara psikologis berupa konflik kejiwaan. Dampak sosial, perkawinan beda agama masih dipandang sebelah mata oleh masyarakat dan juga keluarga masing-masing pasangan yang berpengaruh pada relasi dalam keluarga. Penelitian ini membahas pandangan Alkitab mengenai perkawinan campur dan pandangan Robert J. Sternberg dalam Triangular Theory of Love mengenai tiga (3) kekuatan dalam mempertahankan perkawinan yaitu, (1) intimasi yang penuh kasih (intimate love), (2) komitmen (commitment), dan gairah (passion) menjadi faktor penting dalam perkawinan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengalaman perkawinan campur istri Kristen asal Indonesia dengan suami Non-Kristen asal Jepang di Gereja Interdenominasi Injili Indonesia (GIII) Jepang. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan naratif analisis terhadap dinamika pengalaman perkenalan, pengambilan keputusan menikah dan kehidupan selama perkawinan.
Hasil penelitian terhadap 3 istri Kristen asal Indonesia menunjukkan bahwa Fase kehidupan perkawinan istri Kristen asal Indonesia dengan suami Non-Kristen asal Jepang mengalami 5 fase waktu, yaitu: (a) fase perkenalan: daya tarik, keberatan atau pergumulan, pendorong; (b) fase pengambilan keputusan: perbedaan, pergumulan rohani, keberanian pasangan, dukungan keluarga; (c) fase awal perkawinan (1-5 tahun): adaptasi, negosiasi, konflik, peran gereja, kondisi spiritual suami; (d) fase pertengahan (6-15 tahun): realitas perkawinan, penyelesaian konflik, pengungkapan pergumulan batin; (e) fase pematangan/penyesuaian (usia di atas 15 tahun): renegosiasi, pergumulan iman suami, peran gereja, penguatan menghadapi masa depan. Implikasi penelitian terhadap peran gereja dan orang tua dalam
mempersiapkan anak masuk dalam perkawinan, konseling, dan penelitian lanjutan secara khusus dalam konteks perkawinan campur. | en_US |