dc.description.abstract | Secara umum, metode kaum injili mengusung bentuk “kontekstualisasi kritis” dengan mempertahankan ketegangan antara aspek ortodoksi dan relevansi. Meski demikian, konsep di atas memiliki kekurangan seperti asumsi metodologis inti Injil suprakultural di mana pelaku kontekstualisasi meyakini mampu memisahkan Injil dari selimut kultural melalui penerapan-penerapan metode hermeneutis. Singkatnya, kaum injili memiliki optimisme terhadap aspek objektivitas dan netralitas yang akan berdampak kepada kejelasan definisi dan ketepatan tujuan akhir dari proses kontekstualisasi. Selain itu, kaum injili kerap melihat sinkretisme sebagai sesuatu yang terjadi hanya kepada konteks di luar, dan bukan di dalam proses kontekstualisasinya. Dengan latar belakang tersebut, penulis memiliki hipotesis bahwa dimensi imajinasi adalah aspek yang terabaikan dalam kontekstualisasi kaum injili. Kaum injili kerap kekurangan imajinasi dalam studi biblis/teologis. Selain itu, mereka juga kerap abai terhadap kekuatan afektif/emotif dari medium-medium imajinal yang dapat memengaruhi persepsi individu dan komunitas.
Melalui ini, penulis berargumentasi bahwa kontekstualisasi kritis kaum injili akan mendapatkan kesegaran dengan menyintesis konsep “imajinasi profetik” dari Walter Brueggemann. Dengan menggunakan dialektika antara analisis retoris dan sosial yang menjadi ciri khas Brueggemann, penulis menguraikan bahwa kemunculan para nabi beserta retorisnya tidak terlepas dari konteks dan realitas sosial. Retoris para nabi selalu berusaha untuk mempertahankan ortodoksi dengan setia kepada memori narasi Allah, namun di saat yang bersamaan, juga menjadi relevan dengan konteks melalui kritik dan pemberian harapan. Melalui studi biblis, dapat ditunjukkan bahwa para nabi dan bangsa Israel bukan pribadi yang netral. Di satu sisi, pesan para nabi tidak pernah objektif dan netral karena mereka bukan sekadar melakukan komunikasi atau iterasi narasi utama, melainkan interpretasi, improvisasi, dan kontekstualisasi melalui daya imajinasi dengan tujuan untuk menunggangbalikkan realitas palsu di sekitar. Di sisi lain, bangsa Israel juga bukan pribadi yang netral karena mereka selalu menafsirkan pesan nabi melalui harapan, ketakutan, dan konteks yang sedang dihadapi. Karena itu, imajinasi profetik dilakukan para nabi untuk membangkitkan imajinasi dan realitas alternatif untuk melepaskan umat Allah dari ilusi-ilusi realitas di sekitar.
Hasil sintesis imajinasi profetik dengan kontekstualisasi kritis akan menghasilkan kontekstualisasi imajinal. Melalui proposal ini, penulis ingin menekankan bahwa kontekstualisasi bukan sekadar komunikasi atau aplikasi, melainkan interpretasi melalui daya imajinasi, sebagaimana yang dilakukan para nabi dan bangsa Israel. Selain itu, jika realitas sosial yang dihidupi umat Allah kerap dibangun dari narasi yang berusaha menjauhkan mereka dari menghidupi imajinasi Allah, maka kontekstualisasi sesungguhnya adalah tentang kontestasi naratif—pertarungan narasi Allah dengan narasi-narasi dominan di sekitar. Dengan melihat bahwa umat Allah selalu hidup dalam lautan naratif, maka proses kontekstualisasi perlu menekankan proses saturasi para penafsir atau pembaca teks dalam kerangka mitis Kitab Suci. Kemudian, perspektif baru yang penulis usung melalui rancang bangun konsep imajinasi profetik adalah konsep “perspektivisme” sebagai model biblis/teologis yang merepresentasikan situasi polifonik dalam teks Perjanjian Lama dan pluralitas yang muncul dalam konteks pasca modern. Melalui konsep ini, penulis menggaungkan ulang peran gereja sebagai komunitas hermeneutis untuk menghadirkan perspektif melalui dialog lintas-pengakuan, lintas-kultural, dan lintas-sejarah. | en_US |