dc.description.abstract | Kesenjangan antara dunia biblikal dengan dunia pembaca kekinian ialah problem yang terus diperbincangkan hingga kini. Beragam upaya telah dimunculkan untuk menjawab problem ini. Ada pandangan yang menegaskan hal ini sebagai bagian dari tugas kerja yang berbeda dari percabangan teologi, ada pula yang mengusulkan dua tahap penafsiran, yaitu penemuan horizon dunia teks melalui interpretasi dan horizon dunia pembaca melalui aplikasi. Ada pula yang mencoba untuk membaca teks dari sudut pandang, motif krisis, dan kepentingan pembaca, guna menjadikan teks berada “dekat” dengan pembaca. Di samping itu, muncul pula pendekatan Theological Interpretation of Scripture (TIS), atau yang diterjemahkan menjadi Interpretasi Teologis Kitab Suci (ITKS), yang mencoba untuk mengembalikan prasuposisi pembacaan Alkitab sebagai Kitab Suci yang diberikan Allah bagi umat-Nya untuk tujuan formatif. Sejauh ini, pendekatan ITKS terus berkembang dan dipandang solutif, baik secara teologis, hermeneutis maupun praktis, di tengah “kontestasi” upaya mempersempit jarak antara dunia biblikal dan dunia pembacanya.
Akan tetapi, dalam diskursus tentang pendekatan ITKS sendiri, ada kritik yang terus-menerus muncul seputar praktikalitas dan aplikabilitas pendekatan ini secara konkret. Pendekatan ini dianggap masih terlalu “akademis,” tidak ubahnya dengan teori-teori sebelumnya, serta tidak bisa benar-benar menjawab problem kesenjangan yang dihadapi. Tesis ini hendak mengkritik tuduhan tersebut dengan menunjukkan bahwa pendekatan ITKS sejatinya praktikal. Lebih lanjut, pendekatan ITKS lebih baik dipahami bukan dengan pola linear dari teori ke praktik, melainkan sebagai upaya meneorikan atau memberi nama bagi praktik pembacaan yang sudah dan selalu berlangsung dalam konteks umat Allah.
Argumentasi ini dibangun melalui penyelidikan komparatif terhadap dua tokoh kunci, yaitu Ephraim Radner dan Eugene Peterson. Keduanya akan ditunjukkan sebagai pelaku penafsir teologis. Melalui studi kepustakaan terhadap sumber-sumber primer, yaitu tulisan-tulisan mereka sendiri; dan juga sumber-sumber sekunder, yaitu analisis atau respons orang-orang lain terhadap kedua tokoh ini, akan ditemukan beberapa prasuposisi dan praksis hermeneutis yang bersifat teologis. Pertama, mereka meyakini bahwa Allah masih dan akan terus berbicara kepada umat-Nya sampai hari ini melalui Kitab Suci. Kedua, bagi mereka, Kitab Suci diberikan dan ditujukan secara spesifik untuk dan bagi umat Allah baik di masa lampau maupun di masa kini. Ketiga, sejatinya penafsiran Kitab Suci yang tepat bukan hanya berbicara tentang apa yang dibaca, tetapi juga bagaimana membacanya. Keempat, penerapan pembacaan yang tepat juga bukan hanya berkaitan dengan metode atau teknik yang digunakan, tetapi postur dan sikap hati ketika mendekati atau membaca teks tersebut. Kelima, Kitab Suci di dalam keseluruhannya memuat cerita tentang Allah dengan Yesus Kristus sebagai sentral. Keenam, adalah tugas penafsiran untuk dapat menemukan figur Kristus di dalam dan melalui seluruh teks biblikal. Ketujuh, adalah sahih untuk mengapropriasi ragam makna spiritual dan figural, dengan Yesus Kristus sebagai “pagar.” Terakhir, pembacaan Alkitab yang tepat sejatinya bersifat formatif, berfungsi edifikatif, dan berdampak operatif bagi kehidupan realistik umat Allah.
Dengan Radner dan Peterson sebagai penafsir teologis, maka kemudian dapat diusulkan pula lima tesis untuk konstruksi pendekatan ITKS yang praktikal. Pertama, bahwa pendekatan ITKS sejatinya tidak monolitik dan mempunyai banyak ragam yang perlu diapropriasi. Kedua, pendekatan ITKS sejatinya merupakan upaya untuk meneorikan praktik pembacaan Alkitab yang sudah berlangsung. Ketiga, pendekatan ITKS tidak hanya dapat dipandang dari perspektif biblikal dan teologis, tetapi juga praktikal, dengan melibatkan komponen motif pembacaan yang formatif, konteks pembacaan kejemaatan, dan eksegesis spiritual-Kristologis. Keempat, para pendeta jemaat dan pengkhotbah dapat juga diperhitungkan sebagai penafsir Alkitab, di samping para sarjana biblika dan teolog. Kelima, dokumentasi hasil tafsir, meskipun yang bersifat (seolah) “tidak akademis” seperti naskah-naskah khotbah, tulisan-tulisan devosional, puisi, prosa, syair, dan lagu dapat juga dijadikan sumber yang reliabel untuk penelitian hermeneutika teologis-spiritual. | en_US |