Refleksi Teologis tentang Rekonsiliasi sebagai Tujuan Resolusi Konflik
Abstract
Ketika saya masih anak-anak, saya selalu diajar untuk berekonsiliasi dengan siapapun saya berkonflik, entah dengan saudara, saudara sepupu, ataupun dengan teman. Orang tua saya, orang-orang yang dituakan, guru-guru, semua mengajarkan untuk berjabat tangan dengan siapapun saya berseteru, sebagai simbol rekonsiliasi, tanpa upaya mengejar kebenaran. Tujuan utamanya adalah untuk menghindari kerusakan yang lebih jauh dan untuk memelihara kedamaian. Di sisi lain, kebenaran hanya dikejar dengan tujuan keadilan, yang berarti yang bersalah dihukum. Akhirnya, saya bertumbuh dengan pengertian bahwa ada dua kemungkinan resolusi konflik: rekonsiliasi atau keadilan. Warisan budaya saya lebih mengetengahkan rekonsiliasi dibanding keadilan. Sebab di dalam rekonsiliasi hubungan dipelihara dan kita menghargai relasi lebih daripada kebenaran. Dalam hal ini, rekonsiliasi dipandang berada di luar keadilan.