Ruwatan dan Pandangan Dunia yang Melatarbelakanginya
Abstract
Berbagai krisis dan bencana yang silih berganti melanda negeri Indonesia direspons dengan beragam cara; salah satunya yang dilakukan oleh seorang astrolog Jawa yang bernama K. R. H. Darmodipuro. Pada tanggal 16 Juni 2005, Darmodipuro menggelar upacara ruwatan untuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Museum Radyapustaka, Solo. Ruwatan, merupakan tradisi yang telah berkembang di dalam masyarakat Jawa selama berabad-abad. Ruwatan dipraktikkan oleh berbagai lapisan masyarakat: baik orang kaya maupun miskin, kalangan kurang terpelajar atau terpelajar. Pada awalnya ruwatan, menurut tradisi Hindu, dikaitkan dengan penyucian atau pembebasan para dewa yang terkutuk karena mereka melakukan kesalahan. Mereka dikutuk menjadi makhluk lain (manusia atau binatang). Agar kembali menjadi dewa mereka harus diruwat. Namun, dalam perkembangannya ruwatan menjadi “sebuah upacara untuk membebaskan orang dari nasib buruk yang akan menimpa.” Orang-orang ini dianggap perlu dibebaskan dari terkaman Batara Kala karena mereka “ternoda.” Mengingat mengakarnya tradisi ruwatan di dalam masyarakat Jawa dan pengaruhnya yang luas, artikel ini bermaksud membahasnya secara khusus. Pembahasan mengenai tradisi ruwatan dibagi ke dalam tiga bagian. Bagian pertama berisi penjelasan khusus mengenai hal ikhwal ritual ruwatan antara lain: mitos Batara Kala, orang-orang yang harus diruwat, dan tata cara ruwatan. Kedua, akan dieksplorasi pandangan dunia seperti apa yang melatarbelakangi ritual ruwatan. Ketiga, penulis akan menanggapi tradisi ruwatan, tentunya dari terang firman Tuhan.