dc.description.abstract | Sebagai bagian dari Protestanisme, Evangelikalisme atau yang biasa dikenal dengan kelompok injili cenderung abai terhadap peran tubuh dan signifikansinya di dalam ibadah. Hal ini dapat dibuktikan lewat tiga fenomena, yakni individualisme, pengutamaan terhadap khotbah, serta liturgi yang miskin. Dari tiga sisi yang berbeda, ketiganya paling tidak membatasi tubuh pada tingkatan tertentu, atau bahkan, menunjukkan marginalisasi tubuh di dalam ibadah. Penggalian yang lebih dalam memperlihatkan bahwa ketiga fenomena di atas dipengaruhi oleh lintasan historis kaum evangelikal yang begitu panjang. Evangelikalisme sendiri dipengaruhi oleh berbagai gerakan, seperti reformasi, Puritanisme, Pietisme, Gerakan Kebangunan Rohani, dan Neo-Evangelikalisme. Semua pengaruh tersebut penulis rangkum ke dalam tiga kecenderungan, yaitu spiritualisasi, lite-ecclesiology, dan pragmatisme. Buntut dari warisan-warisan tersebut menjadikan iman kaum evangelikal sebagai kepercayaan dengan spiritualitas yang sangat meninggikan yang tidak kelihatan, tetapi kurang peduli dan menunjukkan antipati terhadap aspek yang kelihatan.
Ibadah pada dasarnya adalah situs di mana manusia menemukan dirinya seutuhnya dan menemukan Allah sebagai pencipta serta pemilik kehidupannya. Selain itu, ibadah juga merupakan tempat manusia dibentuk menjadi pribadi dengan identitas kerajaan Allah. Oleh karena itu, sulit dibayangkan bila liturgi dirancang tanpa apresiasi yang cukup terhadap tubuh yang notabene merupakan bagian inheren dari manusia. Evangelikalisme perlu merevitalisasi liturgi dan mengakomodasi tubuh, demi mengusahakan ibadah yang holistik. Untuk itu, penulis di dalam tulisan ini akan mengadaptasikan tiga teologi dari tiga tokoh besar: (1) teologi tubuh Paus John Paul II, teologi sakramental Fr. Alexander Schmemann, dan antropologi liturgika James K.A. Smith. Bagi penulis, tiga kerangka konseptual di atas dapat memberikan jawaban bagi masalah disembodiment yang dialami oleh gereja-gereja evangelikal. Di samping itu, ketiganya juga beresonansi atau berkaitan dengan tiga kecenderungan kaum evangelikal yang sudah dibahas sebelumnya. Oleh sebab itu, tulisan ini diolah dan disajikan dengan metodologi analitis dan konstruktif.
Klaim penulis dalam tulisan ini adalah bahwa kaum evangelikal perlu menyadari signifikansi tubuh dan letaknya di dalam liturgi yang mereka jalankan setiap minggunya. Untuk itu, demi mencapai kesimpulan dari klaim di atas, penulis akan membuka tulisan ini dengan latar belakang masalah dan fenomena-fenomena yang membuktikan masalah disembodiment di dalam liturgi kaum evangelikal. Pembahasan selanjutnya akan dipusatkan pada trajektori sejarah kaum evangelikal. Di sini, penulis akan memaparkan secara komprehensif, pengaruh apa saja yang terlibat di dalam proses pembentukan Evangelikalisme modern. Dari sana, tiga kecenderungan akan disimpulkan sebagai penyebab dari fenomena-fenomena yang sebelumnya telah disebutkan. Selanjutnya, penulis akan menguraikan kerangka konseptual dari sang Paus, Schmemann, dan Smith. Ketiganya akan dijabarkan secara cepat, tanpa menghilangkan intisari dari pemikiran masing-masing tokoh. Di bab berikutnya, penulis akan mengolah teori-teori tersebut secara konstruktif, seraya menyuguhkan tiga implikasi praktis bagi kelompok evangelikal, di antaranya adalah ibadah multiindrawi, revitalisasi Ekaristi, dan rehabilitasi pola liturgi tradisional. Tulisan ini akan ditutup dengan kesimpulan dan saran-saran penelitian lanjutan. | en_US |