Show simple item record

dc.contributor.advisor
dc.contributor.authorSteven, Phillips
dc.date.accessioned2021-12-16T06:17:44Z
dc.date.available2021-12-16T06:17:44Z
dc.date.issued2021
dc.identifier.urihttp://repository.seabs.ac.id/handle/123456789/1405
dc.description.abstractPenginjilan yang dimulai “dari atas,” yaitu dengan memperkenalkan Allah dan karya-Nya kurang relevan di telinga umat Buddhis, sebab Buddhisme adalah agama nonteistik. Oleh karena itu, diperlukan sebuah model penginjilan yang “dari bawah,” yaitu yang dimulai dengan membicarakan persoalan penderitaan dan kesementaraan, sebagaimana yang menjadi konsep mendasar Buddhisme. Dalam penelitian ini, penulis membandingkan konsep hebel yang ada dalam kitab Pengkhotbah, dengan konsep dukkha menurut Buddha Gautama sebagai dasar untuk membangun penginjilan yang “dari bawah.” Persamaan-persamaan yang ada dalam kedua konsep itu dapat menjadi common ground dalam penginjilan, sementara perbedaan yang ada dapat menjadi jembatan kepada Injil. Penulis menggunakan metode penelitian eksegesis dan komparasi dalam penelitian ini. Hasilnya, penulis menemukan bahwa baik Qohelet maupun Gautama sama-sama mengamati realitas kehidupan yang serupa, yaitu hebel dalam sebutan Qohelet, dan dukkha dalam sebutan Gautama. Namun, Qohelet dan Gautama memberikan jalan keluar yang berbeda untuk mengatasi persoalan hebel/dukkha. Penulis berpendapat bahwa jalan keluar yang ditawarkan oleh Gautama, yaitu delapan jalan mulia, tidaklah dapat dilakukan secara sempurna oleh manusia selama satu kali kehidupan, sehingga di dalam kerangka berpikir Buddhisme, sebetulnya membutuhkan berkali-kali kehidupan agar dapat melakukan delapan jalan mulia secara sempurna, yang hanya menambah dukkha. Sebaliknya, jalan keluar yang ditawarkan oleh Qohelet, yaitu takut akan Allah dan melakukan perintah-perintah-Nya, yang diwujudkan dalam karya Kristus di dunia yang dapat membebaskan manusia dari hebel/dukkha. Kristus datang ke dunia melakukan delapan jalan mulia (perintah-perintah Allah) bahkan lebih dan dengan sempurna. Oleh karena itu, Ia layak menjadi sosok yang dapat membebaskan manusia dari hebel/dukkha. Barang siapa yang takut akan Dia, dalam arti bergantung pada Dia, bukan bergantung pada diri, niscaya mendapat pembebasan dari hebel/dukkha. Terlebih lagi, karya Kristus yang masuk ke dalam hebel yang ultimate, yaitu kematian juga memberikan rasa solidaritas dan kekuatan bagi umat manusia dalam menjalani kehidupan yang penuh dengan hebel/dukkha. Berita Injil yang seperti inilah yang relevan dan melegakan bagi umat Buddhis yang sedang mencari pembebasan dari hebel/dukkha.en_US
dc.language.isootheren_US
dc.subjectHebelen_US
dc.subjectDukkhaen_US
dc.subjectQoheleten_US
dc.subjectBuddha Gautamaen_US
dc.subjectPenginjilan dari Bawahen_US
dc.titlePerbandingan Konsep Hebel dalam Kitab Pengkhotbah dengan Konsep Dukkha Menurut Buddha Gautama dan Implikasinya bagi Penginjilan kepada Umat Buddhisen_US
dc.typeThesisen_US


Files in this item

Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record