dc.description.abstract | Pluralisme merupakan sebuah fenomena yang tidak mungkin dihindari, Manusia hidup dalam pluralisme dan merupakan bagian dari pluralisme itu sendiri, baik secara pasif maupun aktif, tak terkecuali dalam hal keagamaan. Setiap agama muncul dalam lingkungan yang plural dan membentuk dirinya sebagai tanggapan terhadap pluralisme tersebut, Pluralisme keagamaan ini jika tidak dipahami secara benar dan arif oleh pemeluk agama maka akan menimbulkan dampak, tidak hanya berupa konflik antar umat beragama, tetapi juga konflik sosial dan disintegrasi. Karena itu, dialog antaragama bukan lagi sebuah pilihan tetapi menjadi undeniable law for human beings bahkan menjadi world’s compass untuk menciptakan wajah dunia yang lebih damai, adil, beradab, berperikemanusiaan dan religius.
Berdasarkan pemahaman akan pentingnya dialog antaragama, maka penulis dalam skripsi ini memfokuskan penelitian pada model dialog yang pluralis. Model dialog ini antara lain: Model Pemenuhan {Fulfdlment model) yaitu model yang mewakili posisi inklusif yang menyatakan bahwa “yang satu menyempumakan yang lain” {the one fulfils the many) namun dalam teologinya tidak berbeda jauh dengan posisi pluralis; MoJe/ Mutualitas {Mutuality model) yaitu model yang mengakui kebenaran dan kesetaraan dari berbagai agama sehingga “banyak agama terpanggil untuk berdialog” {many true religions called to dialogue)', dan model Penerimaan {Acceptance model) yaitu model yang menerima keberagaman dan diversitas agama sehingga model ini mempunyai perspektif bahwa “banyak agama yang benar: biarlah begitu” {many true religions: so be it). Selain itu, penulis juga memaparkan model Penggantian {Replacement model) sebagai model dialog yang injili, yaitu model yang bersifat eksklusif karena mengakui dan menerima bahwa “hanya ada satu agama yang benar” {only one true religion).
Setelah melakukan analisis terhadap ortodoksi dan ortopraksi dari model-model dialog yang pluralis, serta mempelajari pemikiran dari tokoh-tokoh utama dari setiap model, penulis mendapati bahwa model dialog yang pluralis merupakan model dialog yang sangat toleran sehingga akhirnya mengkompromikan bahkan mereduksi hampir semua kebenaran iman Kristen sehingga kekristenan kehilangan keunikannya. Namun, model dialog yang injili sebagai model yang seharusnya lebih alkitabiah, justru jatuh ke ekstrem yang lain dengan eksklusivisme yang radikal. Karena itu, penulis mengusulkan model Akomodatif Model ini berusaha untuk tidak jatuh pada salah satu titik ekstrem tetapi berusaha merembeskan injil secara berhikmat dalam masyarakat pluralistik sekarang ini. Selain itu, model ini membuat kekristenan bisa bergerak lebih jauh memasuki ranah sosial, politik, budaya, ekonomi, ekologi, perdamaian dunia, dan berbagai permasalahan kemanusiaan lainnya. | en_US |