Memanfaatkan Konsep Kejawen Mengenai Tan Kena Kinaya Apa dan Manunggaling Kawula-Gusti Dalam Mengkontekstualisasikan Doktrin Transendensi dan Imanensi Allah Pada Orang Jawa
Abstract
Tesis ini adalah suatu ide dan usaha dari penulis untuk mengkontekstualisasikan doktrin transendensi dan imanensi Allah pada orang-orang Jawa dengan latar belakang pemahaman/konsep kejawen mereka tentang Tuhan. Ide dan usaha yang didasarkan pada pemahaman tentang adanya konsep kejawen mengenai tan kena kinaya apa dan manunggaling kawula-Gusti yang mencerminkan pemahaman tentang Tuhan yang transenden dan sekaligus imanen pada orang Jawa. Kedua konsep inilah yang menurut penulis merupakan peluang untuk mengajarkan tentang konsep transendendi dan imanensi Allah dan kemudian mentransformasinya (kedua konsep kejawen tentan Tuhan itu) menjadi lebih sesuai dengan iman Kristen. Ide dan usaha untuk mengkontekstualisasikan doktrin transendensi dan imanensi Allah pada orang Jawa ini menurut penulis merupakan salah satu contoh dari suatu usaha untuk memberitakan Injil di kalangan masyarakat yang beragama suku. Proses kontekstualisasi mempertemukan beberapa pandangan dunia yang berbeda, yaitu pandangan dunia: para penulis Alkitab, orang Jawa (pemeluk agama suku), para teolog (dengan prinsip kontekstualisasinya, serta doktrin transendensi dan imanensi Allahnya), dan penulis sendiri. Penulis berharap bahwa usaha kontekstualisasi tidak hanya menyentuh pada kulit budaya saja, melainkan dapat menyentuh inti pemahaman konsep kejawen tentang Tuhan. Usaha kontekstualisasi ini juga diharapkan membuat orang Jawa (pemeluk agama suku) menerima doktrin tentang Allah bukan sebagai sesuatu yang asing, tetapi bisa dipahami dan diterima dengan latar belakang pemahaman kejawen mereka. Melalui proses kontekstualisasi yang menyentuh sampai pada inti yang terdalam dari pemeluk agama suku (dalam hal ini orang Jawa), maka diharapkan bahwa orang-orang Jawa itu akan bisa menghayati kekristenannya secara lebih mendalam. Orang Jawa memiliki pandangan dunia yang sangat terbuka, sehingga mereka menganggap agama seperti baju yang mudah dicopot dan diganti dengan yang lain. Oleh karena itu supaya kekristenan tidak hanya menjadi salah satu baju, maka proses kontekstualisasi yang diterapkan pada orang Jawa harus bisa sampai menyentuh pada konsep kejawen yang telah mereka anut sebelum menerima pengaruh ajaran Kristen. Tentunya proses kontekstualisasi ini tetap menekankan bahwa ajaran firman Tuhan berdasarkan Alkitab harus bisa menerangi dan mentransformasi ajaran-ajaran di dalam konsep kejawen tersebut. Hal ini didasarkan pada pemahaman bahwa walaupun mungkin ada kemiripan di dalam ajaran kejawen itu dengan doktrin-doktrin Kristen tetapi manusia yang menyusun ajaran tersebut telah berada di bawah pengaruh kuasa dosa sehingga pasti ajarannya tidak alkitabiah. Pada akhirnya melalui proses kontekstualisasi ini juga diharapkan akan membuat orang Jawa Kristen tidak lagi "mendua hati" atau berpegang pada dua ajaran (ajaran/doktrin-doktrin Kristen dan konsep-konsep kejawen) dalam hidup beragama mereka. Usaha kontekstualsasi ini juga diharapkan akan lebih memudahkan untuk menjangkau orang-orang Jawa terutama yang beragama abangan dalam pelaksanaan penginjilan.