Suatu Tinjauan terhadap Pandangan Yohanes Calvin mengenai Hubungan Gereja dan Negara
Abstract
Gereja lahir dan berkembang di tengah-tengah percaturan dunia. Keberadaan gereja tidak dapat dilepaskan dari tatanan-tatanan yang berlaku dalam dunia sekitarnya. Apa yang terjadi dalam masyarakat dapat mempengaruhi kehidupan bergereja, demikian pula sebaliknya, gereja juga punya andil besar untuk mempengaruhi masyarakat. Dalam kaitan yang demikian meka gereja harus mampu bersikap arif dan bijaksana, khususnya dalam relasinya dengan negara.
Sejarah hubungan gereja dan negara telah terjalin seiring dengan perkembangan gereja dari abad ke abad. Sejak abad pertama hingga abad pertengahan kualitas hubungan gereja dan negara sangat dipengaruhi oleh situasi politik yaitu pergantian kekaisaran Roma. Kualitas hubungan di antara kedua lembaga ini mengalami pasang surut tergantung siapa yang berkuasa. Ketika gereja mampu memegang kendali negara atau negara dalam gereja maka gereja tergoda untuk bertindak jauh melampaui wewenangnya. Gereja terlibat jauh dalam urusan politik dan sosial kemasyarakatan hingga melalaikan panggilan serta perannya sebagai lembaga rohani yang ditetapkan Allah di dalam dunia. Demikian pula sebaliknya, ketika negara menguasai gereja atau gereja di dalam negara. Negara terlibat jauh mencampuri urusan intern gereja dimana kaisar campur tangan terhadap keputusan-keputusan gereja. Kondisi seperti ini menyebabkan gereja tidak mampu berperan secara maksimal dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Gereja tidak berdaya untuk menyuarakan suara kenabiannya.
Puncak perseteruan dalam relasi gereja dan negara terjadi pada abad pertengahan. Pada masa ini kondisi gereja sungguh memprihatinkan karena para pemimpin gereja terutama Paus lebih mengutamakan urusan politik daripada urusan rohani yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya. Hal ini disebabkan karena klaim gereja yang beranggapan bahwa kuasa gereja atau Paus lebih besar daripada kuasa kaisar. Dalam kondisi yang demikian tampillah para Reformator yang ingin mengoreksi kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan gereja sekaligus menyampaikan pemikiran-pemikiran mereka tentang hubungan gereja dan negara. Martin Luther denan ajaran "Dua Kerajaan" membedakan antara pemerintahan "spiritual" dan "duniawi". Gereja dan negara mempunyai wewenang yang berbeda sehingga tidak boleh dicampuradukan.
Berbeda dengan Luther, Yohanes Calvin memiliki pandangan positif terhadap negara. Ia menolak gereja sebagai subordinasi (di bawah) negara, atau negara subordinasi gereja, tetapi iuxaposisi (kesetaraan yang berdampingan) dan kooperatif (mitra kerja sama). Menurutnya, pemerintah diperlukan untuk menjamin kesejahteraan masyarakat, yaitu untuk menegakkan keadilan dan memberantas kejahatan. Meskipun kedua lembaga ini berbeda, Calvin berpendapat bahwa negara dapat bekerja sama dengan gereja dalam melayani masyarakat. Hal ini dibuktikannya pada waktu mereformasi kota Jenewa. Ia bekerja sama dengan pemerintah mengatur kehidupan masyarakat sehingga tercipta kondisi sosial masyarakat yang lbih tertib dan teratur. Keberhasilan reformasi Calvin ini telah menjadi model untuk mereformasi kota-kota lain di Eropa. Ia telah meletakkan landasan yang kuat bagi relasi gereja dan negara. Memperhatikan apa yang telah dicapai Calvin di Jenewa, maka tesis ini disusun untuk melihat sejauh mana pandangan ini dapat diterapkan pad konteks yang berbeda khususnya, di Indonesia.