dc.description.abstract | Orang-orang Kristen di setiap abad mendapat julukan “homo viator,” yaitu orang yang selalu berjalan dan bergerak. “Berhenti” bagi umat Kristen berarti kemunduran. Karena itu di tengah zaman yang serba canggih dengan hi-tech dan komputerisasi kita dipacu untuk berlomba. Sambil berlomba orang akan berusaha mengukur apa saja yang dapat dipantau dengan angka. Sebab itu gereja dan persekutuan pun dipaksa untuk mengukur keberadaannya. Jika kita mengatakan “stagnasi pelayanan” berarti kita “merasakan” atau mulai “berpikir” dengan semacam ukuran bahwa apa yang kita lakukan sampai saat ini tidak bisa kita lanjutkan terus-menerus demikian saja. Apa yang telah kita lakukan sampai saat ini tidak menunjukkan dampak perubahan atau pembaharuan. Seolah-olah semuanya menunjukkan adanya kekosongan batiniah. Apa artinya segala usaha dan daya kita dalam pelayanan ini entah itu pemberitaan firman Tuhan, pembinaan, PA, konseling dan seterusnya? Pelayanan kita dirasakan tidak membawa manfaat, tidak ada gema yang memantul. Ini semua bukan tanpa akibat bagi kehidupan pribadi kita sebagai pekerja gereja atau persekutuan yang mendapat panggilan Allah untuk melayani-Nya dengan tugas dan tanggung-jawab yang dipercayakan kepada kita. Masih adakah perspektif yang positif untuk pelayanan kita? Apakah yang kita lakukan sampai saat ini memiliki masa depan? Bukankah ini semua menunjukkan adanya “sindrom” dari kejenuhan atau stagnasi? Di dalam artikel ini kita akan membahas mengenai dampak dari stagnasi pelayanan serta apa yang dapat dilakukan untuk mengatasinya. Tetapi sebelumnya kita akan melihat hambatan yang umumnya menghalangi orang mengenal adanya stagnasi. Dengan mendiskusikan hal ini penulis berharap para pembaca merindukan adanya suatu “pembaharuan” demi kemajuan dan berusaha untuk mempertahankan yang baik dan berani mengadakan terobosan yang baru. | en_US |