Penggalian Tulang-Belulang : Sebuah Kritik Injili terhadap Pembangunan Tugu di Tapanuli Utara
Abstract
Salah satu isu teologi misi abad kedua puluh adalah masalah perbenturan injil dan kebudayaan. Ada berbagai pandangan mengenai hubungan antara injil dan kebudayaan di sepanjang sejarah gereja yang masih menjadi perdebatan sampai abad dua puluh bahkan sampai abad dua puluh satu. Injil kerap kali tidak berdampak pada kehidupan padahal injil bersifat selalu membaharui dan mengubahkan. Hal inilah yang mendorong penulis untuk menulis artikel ini, khususnya berkaitan dengan kehidupan orang Batak Toba karena suku ini kerap meninggikan adat mereka. Secara lebih sempit artikel ini akan menyoroti dampak pelayanan gereja yang terjadi di antara orang Batak Toba yang 99% beragama Kristen, yakni pada peristiwa penggalian tulang-belulang leluhur. Penggalian tulang-belulang yang dalam bahasa Batak disebut mangongkal holi, mengandung kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek agamawi yang berhubungan dengan roh-roh nenek moyang yang telah mati. Upacara ini mengandung suatu keyakinan bahwa orang yang telah mati sebenarnya masih hidup dalam bentuk lain dan mempunyai hubungan sosial dengan orang-orang yang masih hidup, serta memiliki sifat ilahi yaitu selalu memperhatikan, memelihara keturunannya dan menerima permohonan dan pelayanan dari keturunannya. Sebagian besar orang Batak Toba Kristen menganggap mereka yang telah mati bisa menolong atau mencelakakan orang-orang yang masih hidup. Dengan melakukan penggalian tulang-belulang mereka menjaga hubungan dengan keluarga yang sudah meninggal. Memang, menurut ilmu agama fenomena hubungan leluhur dengan orang yang masih hidup dianggap sebagai suatu cabang yang besar dari agama manusia, dan merupakan sebuah kenyataan agamawi yang sangat penting. Hal ini tidak hanya ditemukan pada masyarakat Batak yang dianggap terbelakang atau bangsa primitif pada umumnya, tetapi juga ditemukan pada berbagai lapisan masyarakat dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Yang terjadi di antara orang Batak Toba adalah melakukan berbagai hal penyembahan nenek moyang atau iman sinkretis melalui pembangunan tugu bagi tulang-belulang nenek moyang mereka. Secara materi hal ini telah membuat orang Batak Toba menjadi miskin karena pembangunan tugu ini menghabiskan biaya besar. Namun lepas dari masalah miskin atau kaya, pertanyaannya sekarang adalah: apakah penggalian tulang-belulang dan segala yang tersangkut di dalamnya dapat dibenarkan dari sudut pandangan Alkitab? Bagaimanakah seharusnya gereja sebagai agen pembaharu Allah menyikapi keadaan ini? Hal praktis apakah yang dapat dilakukan oleh gereja untuk memulai pembaharuan sehingga iman Kristen menjadi fondasi bagi kehidupan orang Kristen Batak Toba? Hal inilah yang akan disorot dalam artikel ini, secara khusus ditinjau dari sudut pandang teologi injili.