Konsep Wa dan Honne to Tatemae sebagai Budaya Harmoni di Jepang dan Implikasinya terhadap Penginjilan Kontekstual.
Abstract
Perbedaan budaya menjadi sebuah masalah dalam penginjilan. Cukup banyak penginjilan yang kurang efektif karena tidak mempertimbangkan konteks budaya pendengar-Nya. Selain itu, perlu disadari juga bahwa sang penginjil sendiri juga memiliki budayanya masing-masing. Maka dari itu sangat diperlukan sebuah penginjilan yang efektif dengan mempertimbangkan konteks budaya pendengar.
Jepang adalah salah satu negara yang sudah lama mendengar dan menerima Injil, tetapi kekristenan tidak juga bertumbuh pesat. Hal ini dikarenakan perbedaan budaya antara Jepang dan kekristenan yang dianggap memiliki budaya Barat. Jepang tidak ingin budaya Barat untuk masuk ke dalam budaya mereka. Dengan beranggapan bahwa agama Kristen adalah agama berbudaya Barat, maka masyarakat Jepang sulit untuk menerima kekristenan. Selain itu, budaya harmoni di Jepang tidak memperbolehkan seorang pun merusak sesuatu yang telah ada di Jepang, yaitu kebudayaan asli masyarakat Jepang. Maka dari itu, untuk membawa penginjilan di Jepang, penginjil-penginjil hams mempertimbangkan konteks budaya di Jepang, agar pesan mereka menjadi lebih relevan.
Dalam penelitian ini, dijelaskan beberapa langkah untuk melakukan sebuah penginjilan lintas budaya. Usaha penginjilan tersebut disebut dengan penginjilan rekontekstual. Dalam penelitian ini juga dijelaskan tentang budaya Jepang yang dapat menjadi sarana masuknya Injil. Dari kedua hal itu, maka akan ditemukan cara membawa Injil ke dalam konteks Jepang, tanpa hams memsak kebudayaan, dan juga tetap setia terhadap Firman Allah.
Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa Injil Matius 5:37 dapat menjadi sarana masuknya Injil ke dalam budaya Jepang. Budaya harmoni Jepang menghasilkan sebu^ konsep honne to tatemae, yang mengajarkan masyarakatnya untuk menutup-nutupi kebenaran. Sedangkan Injil Matius 5:37 mengajarkan untuk setiap orang berkata dengan jujur. Agar tidak memsak kebudayaan, hasil akhir dari penelitian ini akhimya mengubah sedikit makna dari konsep honne to tatemae.
Bukan menutup-nutupi kebenaran, melainkan hanya sekadar menahan diri agar tidak melukai atau menyinggung perasaan orang lain. Dengan demikian, masyarakat Jepang masih tetap dapat menjaga keharmonisan tanpa menutup-nutupi kebenaran.