Depolarisasi Sikap Kristen Terhadap Agama-Agama Lain : Suatu Analisis Terhadap Inklusivisme Clark H. Pinnock
Abstract
Salah satu dari sepuluh trend baru memasuki milenium ketiga adalah kebangkitan agama-agama/' Ini berarti bahwa gereja tidak dapat eksis dalam kesendirian, sebaliknya ia sedang dan selalu akan berhadapan dan berinteraksi dengan agama-agama lain intens dan dinamis. Kondisi ini mengharuskannya mengambil sikap yang tepat di tengah konteks kemajemukan agama yang demikian. Sayangnya, sikap gereja yang muncul terhadap agama-agama lain justru mengalami polarisasi. Ini disebabkan oleh adanya ketegangan di dalam kepercayaan Kristen, antara kepercayaan bahwa Allah mengasihi seluruh dunia (universalitas) dan kepercayaan bahwa Yesus adalah satu-satunya jalan kepada Allah (partikularitas). Penekanan keduanya secara polaris menghasilkan dampak yang negatif. Kutub universalitas sangat menekankan anugerah Allah yang universal, sehingga apapun konsekwensinya, Allah harus menyediakan jalan keselamatan bagi semua orang, termasuk di dalam agama-agama lain. Ini berarti fokus dan muatan iman Kristen •yang bertumpu pada kebenaran fundamental yang normatif menjadi relatif dan cenderung disamakan dengan apa yang ada dalam agama lain. Di sisi lain, kutub partikularitas dengan klaim Kristologi eksklusifnya menimbulkan sikap superior, tertutup dan sangat apriori terhadap agama-agama lain. Di tengah kondisi yang terpolarisasi ini, ada semacam desakan untuk menjawab masalah tersebut, dan salah satu alternatif yang diajukan adalah usaha merekonsiliasi kedua kutub tersebut, atau dengan istilah lain, usaha mendepolarisasi. dan pandangan inklusif Clark H. Pinnock, walaupun bukan yang pertama, juga bertujuan mencari jalan keluar terhadap masalah polarisasi di atas.“ Tulisan ini berusaha menganalisis inklusivisme Pinnock, sebagai salah satu model alternatif yang berusaha merekonsiliasi kedua kutub yang terpolarisasi. Tulisan ini disusun dengan sistematisasi sebagai berikut: menjelaskan secara singkat pandangan universalitas dan partikularitas; kemudian menjelaskan usaha merekonsiliasi kedua kutub tersebut melalui model inklusivisme Pinnock; dan terakhir, mencoba menganalisis model inklusivisme Pinnock. Dari analisis usaha rekonsiliasi ini, akan muncul beberapa kontribusi positif yang dapat disumbangkan, dan sebaliknya ada hal-hal negatif yang perlu dihindari. Melalui analisis ini, diharapkan muncul pikiran-pikiran yang orisinil, bertanggungjawab, dan relevan, paling tidak dari perspektif tradisi teologi injili, sebagai solusi alternatif terhadap masalah polarisasi sikap, baik dalam konteks intern kekristenan (antara pluralis dan eksklusif) maupun dalam konteks ekstern agama-agama (antara kekristenan dan agama-agama lain). Diharapkan juga tulisan ini dapat menolong gereja menempatkan dirinya berdampingan dan berinteraksi dengan baik dengan agama-agama lain, sehingga panggilan dan peranannya sebagai terang dan garam dunia menjadi semakin nyata.