Kekeliruan Pengartian Konsep Anugerah dalam Teologi dan Pelayanan Praktis
Abstract
Berkali-kali dalam perjalanan ke luar kota, ketika menghubungi handphone seseorang atau ketika HP saya berdering, lawan bicara di seberang sering kali bertanya: “Pak Daniel, sekarang ada di mana?” atau “Pak Daniel, sekarang sudah sampai di mana?” Pertanyaan yang bunyinya seperti itu sangat berkesan bagi saya, karena di dalamnya, secara sadar atau tidak, terkandung adanya sebuah indikasi yang tersirat dari kecenderungan zaman modern ini, yaitu manusia dengan mobilitasnya yang tinggi nyaris boleh dikatakan berada di mana-mana. Manusia telah menjadi makhluk yang hampir menuju ke arah lingkup yang omnipresent melalui kemajuan telekomunikasi, revolusi teknologi, dan informasi superhighway yang ajaib. Itu baru satu alat, yaitu handphone. Belum lagi segala kelengkapan modern lainnya seperti komputer, internet, video, teleconference system, teknologi laser, genetika dan lain sebagainya yang disebutkan oleh Jacques Ellul sebagai kecenderungan manusia menjadikan teknologi sebagai sebuah kunci atau “decisive factor.” Dalam situasi kehidupan yang seperti itu saya jadi tergoda untuk berpikir: Apakah manusia atau orang percaya masih membutuhkan yang namanya “anugerah”—atau paling sedikit, apakah dalam kehidupan yang serba modern dan seakan-akan segala sesuatu dapat diraih dalam genggaman tangan, manusia (dan sekali lagi, termasuk orang percaya atau mungkin juga para hamba Tuhan) masih menganggap anugerah sebagaimana arti yang sebenarnya? Jikalau manusia semakin hari menjadi semakin autonomous atau mandiri, apakah ia akan terus dapat menghayati makna dan pengertian yang tepat tentang anugerah seperti yang dimaksudkan dalam Alkitab? Sebagai orang beriman, apalagi pelayan Tuhan, kita semua menyadari bahwa yang menjadikan kekristenan berbeda dengan agama lain adalah kepercayaan tentang anugerah. Kehidupan Kristen dimulai dan dilanjutkan dalam anugerah. Tanpa anugerah kekristenan menjadi kehilangan makna dan relevansi. Karena itu tidak ada yang lebih berarti dalam iman Kristen yang sehat selain pengertian orang percaya yang benar, tepat dan menyeluruh mengenai konsep anugerah. Namun demikian saya menjadi sedih dan kuatir akhir-akhir ini karena adanya orang Kristen yang bukan hanya salah mengartikan anugerah Allah secara benar dan tepat, tetapi juga boleh dikatakan “menghina Roh kasih karunia” (Ibr. 10:29). Mungkin pertanyaan yang langsung muncul setelah ini adalah: Apa buktinya kalau dikatakan bahwa konsep anugerah telah disalahmengertikan? Apa tandanya bahwa anugerah itu direndahkan? Apa contoh konkret bahwa anugerah Allah telah didevaluasikan oleh orang Kristen sendiri? Baiklah saya akan mulai penulisan artikel ini dengan definisi yang rinci dan kesimpulan mengenai arti yang alkitabiah dari istilah “anugerah.” Setelah itu artikel ini akan membahas beberapa kekeliruan pengartian konsep tersebut dalam berteologi dan kenyataan praktis. Pada bagian akhir saya akan memberikan kesimpulan untuk konteks pelayanan dan bergereja.