Tinjauan Terhadap Human Cloning Berdasarkan Bioetika Kristen.
Abstract
Cloning adalah salah satu bentuk teknologi rekayasa genetika yang dapat “menciptakan” duplikat atau kembar melalui teknik asexual reproduction. Teknologi ini sudah dipraktikkan sejak tahun 1952 oleh dua orang ilmuwan yang bernama Robert Briggs dan Thomas King pada hewan kecebong. Akan tetapi, teknologi cloning memiliki progesifitas yang tinggi, sehingga pada tahun 1997, seorang periset di Edinburgh’s Roslin Institute yang bernama Ian Wilmut dari Skotlandia berhasil memecahkan pekerjaan rekayasa genetika yang pada akhirnya dilahirkannya si domba cloning yang diberi nama Dolly. Wilmut telah menjadi seorang ilmuwan pertama yang berhasil mengklon seekor mamalia dewasa dengan cara mengeluarkan inti dari sel dewasa dan memasukkannya ke dalam sebuah sel telur yang telah diambil nukleusnya.
Rupanya progresifitas teknologi cloning tidak hanya berhenti di situ. Para periset yang melihat keberhasilan Wilmut terpacu adrenalinnya untuk terus melakukan pengembangan yang pada akhirnya merambah pada manusia sebagai obyek rekayasanya. Rekayasa genetika yang mulai menyentuh manusia itulah yang kemudian menggemakan human cloning ke hampir seluruh belahan bumi.
Menariknya, tidak sedikit dari manusia di dunia ini yang memberikan respons positif terhadap human cloning. Pasalnya, human cloning dipandang sebagai sumber jawaban bagi pasangan suami-istri dan pasangan homoseksual yang menginginkan keturunan atau anak biologis. Lebih dari itu, human cloning dilihat sebagai sumber jawaban atau kesembuhan bagi orang-orang yang mengalami penyakit-penyait serius termasuk terminal illness.
Akan tetapi, tidak sedikit—dapat dikatakan mayoritas—orang yang memberikan reaksi penolakan terhadap human cloning. Reaksi ini disebabkan oleh banyaknya pelanggaran etis-teologis yang ditemukan dalam praktiknya. Secara teologis, human cloning telah melanggar ketetapan-ketetapan Allah, di mana manusia telah memposisikan diri sebagai pencipta bukan ciptaan, tidak menghormati kedaulatan Allah, mandat prokreasi telah diabaikan, dan masih banyak pelanggaran lainnya. Kemudian, secara etis, human cloning telah memperlakukan manusia tidak pada tempatnya, yaitu manusia yang adalah gambar Allah telah dijadikan sebagai obyek eksperimen. Oleh sebab itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa human cloning dipandang sebagai praktik yang tidak melayani Allah melainkan mempermainkan Allah.
Dengan demikian, kendati pun human cloning dipandang sebagai salah satu ciri dari kemajuan teknologi dan sumber jawaban atas pergumulan manusia, namun human cloning ini tetap sebagai sebuah ketidakbenaran. Oleh karena itu, setiap orang percaya tidak diperkenankan mempraktikkan atau mempergunakan teknologi human cloning ini untuk tujuan apa pun. Akan tetapi, teknologi ini boleh dilakukan dan tidak akan bertentangan dengan firman Allah dan etika Kristen, jika teknologi ini diterpakan pada hewan dan tumbuhan—bukan pada manusia—karena hewan dan tumbuhan bukan gambar Allah (image of God) yang memiliki ikatan kovenan. Lebih dari itu, setiap orang percaya harus terus mengingat bahwa Allah adalah Allah yang berkuasa dan berdaulat penuh atas hidup manusia yang dikasihi-Nya, dan Dia sanggup melakukan segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi manusia, tanpa melalui human cloning.