Tinjauan Teologis Formulasi Aromatik dalam Alkitab dan Implikasinya bagi Ibadah Kristen.
Abstract
Ibadah dan pengajaran merupakan hal yang vital dalam kehidupan Kristen. Ibadah umum di hari Minggu merupakan momen utama orang-orang percaya, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, berkumpul untuk mengenang dan merayakan perbuatan-perbuatan Allah yang besar di masa lampau yang berpusat pada karya penebusan oleh Yesus Kristus. Pertemuan yang bersifat reflektif ke masa lampau itu kemudian dimaksudkan untuk meneguhkan iman orang-orang percaya untuk hidup bagi Allah di momen kekinian—yakni dalam konteks kehidupan umat dalam konteks waktu dan tempat tertentu. Tidak sampai di situ, pertemuan itu juga sekaligus mengantisipasi kedatangan Kristus yang kedua kali (dimensi eskatologis). Oleh karena itu, sebuah aspek utamadari ibadah umum—di samping aspek-aspek utama yang lain, seperti misalnya sebagai bentuk nyata persekutuan antara Allah dengan umat dan umat dengan umat—adalah pengajaran yang menekankan refleksi historis terhadap karya Allah dalam sejarah. Bentuk dan konten dari ibadah sebaiknya menekankan pentingnya sejarah penebusan, mulai dari Kejadian hingga Wahyu, agar dapat mengajarkan kebenaran-kebenaran Kristen secara lebih utuh. Dengan kata lain, ibadah raya Kristen sedapat mungkin bernafaskan redemptive-historical.
Berdasarkan pada penyelidikan terhadap teks-teks (formulasi) yang memuat nuansa elemen bau (aromatika) di dalam Alkitab, secara khusus pada konteks ibadah, didapati suatu penggunaan yang unik kepada indera penciuman, baik secara literal dan simbolis. Berbagai korban persembahan di dalam Perjanjian Lama diterima Allah sebagai “bau yang harum/menyenangkan,” suatu gaya bahasa yang secara teologis disebut sebagai bahasa “antropomorfisme.” Selain itu, Allah sendiri juga menginstruksikan bangsa Israel pada waktu itu untuk membuat dan menggunakan suatu parfum khusus yang terbuat dari kemenyan untuk dipersembahkan (dibakar) kepada-Nya di tabernakel/Bait Suci setiap hari. Penggunaan bahasa semacam ini kepada Allah (yakni Allah “mencium” bau, dan di tempat lain persembahan-persembahan itu dikatakan sebagai “makanan Allah”) memberikan signifikansi bahwa pada dasarnya Allah menghargai peran indera manusia sebagai makhluk ciptaan yang merepresentasikan diri-Nya, di samping untuk menekankan suatu makna simbolis tertentu dari penggunaan elemen-elemen tersebut. Frasa “bau yang menyenangkan” sendiri lebih menekankan penerimaan Allah terhadap suatu korban persembahan yang dibakar, di samping implikasi-implikasi lain yang dapat ditarik (mis., bahasa itu sebagai bentuk pengontrasan antara Yahweh, Allah Israel, dibandingkan dengan ilah-ilah lain yang pada dasarnya mati tidak mampu berespons).
Penelusuran penggunaan termin-termin terkait ke dalam PB menunjukkan progresivitas penggunaan formulasi aromatik dalam konteks persembahan. Yesus Kristus, sebagai Imam Besar Agung, tabernakel/Bait Suci, serta korban persembahan yang sempurna, yang diungkapkan penulis Surat Ibrani sebagai “substansi” dari apa yang “dibayangi” (shadowed) oleh sistem persembahan dalam tabernakel-Bait Suci dalam Perjanjian Lama, telah mentransformasi (yakni, menggenapi) secara radikal institusi agama Israel menjadi tatanan ibadah yang baru bagi siapa saja yang percaya dalam nama-Nya. Secara khusus, Yesus sebagai korban yang sempurna itu disebutkan oleh Paulus sebagai “korban yang harum” (Ef. 5:2), suatu istilah yang lazim dikenakan bagi berbagai korban persembahan dalam sistem tabernakel/Bait Suci. Hidup orang percaya kemudian disebutkan sebagai “persembahan yang hidup” (Rm. 12:1, 2) yang setiap tindakannya yang memuliakan nama Allah disebut sebagai “bau yang harum” (Flp. 4:18). Kemudian, secara spesifik dalam penglihatan di Patmos doa orang-orang percaya digambarkan sebagai persembahan kemenyan yang harum di hadapan takhta Allah (yang merupakan gema dari praktik persembahan kemenyan khusus di tabernakel/Bait Suci Israel). Doa orang percaya selalu diterima Allah dan akan membawa dampak bagi kehidupan di bumi.
Ketika seluruh tradisi Kristen Protestan secara umum (kecuali beberapa denominasi tertentu) tidak menggunakan elemen aromatik dalam ibadah, dua tradisi kekristenan pra-Reformasi (Orthodoks Timur dan Katolik Roma) telah menggunakannya sejak berabad-abad yang lampau (sekitar abad ke-4). Apakah alasan dan dasar biblis dari praktik ini? Dapatkah gereja Protestan mengadopsi praktik ini? Sejauh apa hal itu memungkinkan? Penulis berpendapat bahwa oleh karena penggunaan formulasi aromatik di dalam Alkitab mampu merepresentasikan karya keselamatan yang Allah kerjakan di masa lampau sekaligus menekankan akan aspek kekinian, yaitu bahwa hidup orang percaya adalah persembahan yang berbau harum bagi Allah, dan dengan demikian mengantisipasi kedatangan Kristus yang kedua kali yang akan membawa upah bagi umat-Nya yang telah setia, maka kebenaran yang dapat disampaikan melalui formulasi ini dapat diperkuat dengan penggunaan elemen aromatik secara literal, sebab sejak awal Allah menghargai peran pengalaman indera manusia di dalam ibadah. Hal ini telah disadari oleh banyak ahli, dan nampaknya, asalkan berada dalam batasan tertentu, hal itu tidak bertentangan dengan konsep regulative principle yang dicetuskan Calvin serta norma estetika yang ditekankan Abraham Kuyper.