Tinjauan terhadap Persoalan Human Trafficking dari Perspektif Alkitabiah tentang Hak Asasi Manusia.
Abstract
Permasalahan human trafficking telah mendapatkan perhatian dari masyarakat umum, baik nasional maupun internasional. Kasus yang kompleks ini sering kali membingungkan pihak yang menanggulanginya. Perdagangan manusia dapat mengambil korban dari siapa pun, orang dewasa dan anak-anak, laki-laki maupun perempuan tanpa terkecuali. Modus yang digunakan dalam kejahatan ini sangat beragam dan juga memiliki aspek kerja yang rumit. Tidak ada negara yang kebal terhadap perdagangan manusia. Perdagangan manusia mengambil bentuk: adopsi anak, pekerja jermal, pembantu rumah tangga, pengantin pesanan, industri pornografi, pengedar obat terlarang, dan pemindahan organ tubuh. Tindakan perdagangan manusia membuat para korban tidak lagi memiliki hak asasi dan martabatnya sebagai manusia. Nilai dan tujuan hidupnya tidak lagi menjadi milik pribadinya melainkan menjadi milik sang tuan. Padahal, setiap manusia memiliki Hak Asasi Manusia (HAM) di mana hak-hak yang dimiliki oleh manusia bukan karena diberikan kepadanya, melainkan berdasarkan martabatnya sebagai manusia.
Dalam perspektif Kristen, manusia diciptakan sesuai dengan citra Allah (imago Dei, the image of God). Tindakan perdagangan manusia tidak dapat dibenarkan apa pun bentuknya karena melanggar hakikat manusia sebagai gambar dan citra Allah. Natur keilahian manusia sepertinya tidak lagi dianggap sebagai suatu hal yang sepatutnya harus dihormati. Dengan tidak menghormati manusia selayaknya, secara tidak langsung juga merupakan tindakan yang tidak menghormati Sang Pencipta. Pada saat manusia tidak lagi menghargai Sang Pencipta, ingin berkuasa atas citra Allah itu sendiri, maka hal itu sudah termasuk pelanggaran terhadap ketetapan Allah.
Allah sendiri menghendaki agar manusia terbebas dari segala macam ikatan yang membelenggunya. Melakukan keadilan dan kebenaran dalam bentuk penghayatan akan nilai-nilai HAM dalam kehidupan sehari-hari adalah cara hidup yang sesuai dengan status sebagai umat perjanjian. Dengan pemahaman yang demikian, orang percaya dituntut untuk mampu bertindak dalam rangka menegakkan HAM. Orang percaya harus melakukan tindakan keadilan sosial dan kasih terhadap sesama agar HAM dapat dilakukan sesuai dengan kehendak Allah sendiri di tengah pelanggaran-pelanggaran HAM yang sedang terjadi.