Pengampunan sebagai Nilai Hikmat: Analisis Naratif Kejadian 50:15-21 dan Implikasinya bagi Rekonsiliasi Kristen Masa Kini
Abstract
Konflik telah menjadi bagian kehidupan individu, keluarga dan gereja. Oleh karena itu, pengampunan dan rekonsiliasi menjadi tema sentral dalam keseluruhan iman Kristen. Namun kenyataannya, orang-orang percaya lebih suka menuruti kecenderungan alamiah mereka untuk melawan/lari (fight/flight) saat terjadi konflik/pelanggaran. Satu tokoh Alkitab yang penuh dengan hikmat, Yusuf, mampu mempraktikkan pengampunan dan rekonsiliasi di tengah berbagai kesulitan dan tantangan.
Penulis mengangkat beberapa pertanyaan berkaitan dengan hal tersebut. Pertama, bagaimana hikmat Yusuf dalam mengampuni saudara-saudaranya dan implikasi dari prinsip-prinsip dalam analisis tersebut bagi praktik rekonsiliasi orang Kristen masa kini? Kedua, seperti apakah potret rekonsiliasi, hambatan-hambatannya, dan bagaimanakah orang percaya masa kini seharusnya mengupayakan rekonsiliasi? Ketiga, bagaimana prinsip-prinsip pengampunan Yusuf menjadi dasar rekonsiliasi dan pedoman bagi orang percaya untuk melakukan rekonsiliasi dalam lingkup individu, keluarga, dan komunitas gereja? Terakhir, bagaimanakah kesimpulan yang didapatkan dari penulisan skripsi ini?
Penulis melakukan penggalian melalui sebuah eksegesis narasi terhadap Kejadian 50:15-21 yang merupakan rekapitulasi dari keseluruhan kisah Yusuf. Metodologi yang digunakan adalah metode analisis tematis tipe pemodelan, yaitu metode eksegesis terhadap suatu narasi Alkitab yang mengangkat tema-tema minor dalam suatu bagian, yang selanjutnya akan dikembangkan untuk mencari dan menemukan ilustrasi kehidupan yang religius dari tokoh-tokoh Alkitab. Metode ini dilakukan dengan menganalisis latar belakang (setting), jenis sastra (genre), tema dan tujuan, sudut pandang (point of view), karakterisasi (characterization), dan pengulangan (repetition), juga elemen-elemen lain yang diperlukan.
Dari studi naratif terhadap Kejadian 50:15-21 penulis memperoleh empat prinsip pengampunan dan rekonsiliasi yang dapat diterapkan dalam meletakkan dasar pemahaman yang benar dan berimbang mengenai keduanya: pembalasan adalah hak prerogatif Allah, pengampunan dan rekonsiliasi sebagai anugerah Allah, pengampunan sebagai syarat rekonsiliasi dan rekonsiliasi sebagai jalan dua arah. Empat hal tersebut menjawab kesulitan-kesulitan dalam mempraktikkan pengampunan dan rekonsiliasi orang percaya masa kini. Ketika orang percaya menghadapi kesulitan yang disebabkan faktor latar belakang kebudayaan, faktor psikologis, faktor teologis, pemahaman yang keliru atas pengampunan dan rekonsiliasi, dan proses yang tidak mudah dalam mengampuni dan berekonsiliasi maka firman Tuhan harus tetap ditaati. Dengan demikian pengampunan dan rekonsiliasi dapat dilakukan oleh setiap orang percaya.