Persepsi Remaja (Gen Z) terhadap Pembinaan Gereja Berbasis Pembacaan Katekismus Heidelberg dalam Ibadah di Gereja Kristus Tuhan di Wilayah Malang Raya
Abstract
Pembinaan gereja kepada jemaat secara khusus dalam perihal doktrin dan kerohanian merupakan panggilan Tuhan yang harus dilaksanakan. Melihat pentingnya pembinaan ini, maka sinode Gereja Kristus Tuhan mengeluarkan sebuah keputusan untuk memasukkan pembacaan Katekismus Heidelberg ke dalam ibadah Minggu. Adapun yang menjadi tujuan dalam pembacaan katekismus adalah supaya jemaat mengakar kepada teologi Reformed yang berpegang pada Katekismus Heidelberg serta untuk menegaskan bahwa Gereja Kristus Tuhan adalah gereja berbasis Reformed. Selain itu, tujuan keputusan pembacaan Katekismus Heidelberg dalam ibadah minggu adalah menjadi bahan pembelajaran bagi jemaat secara rutin selama satu tahun (lima puluh dua minggu).
Studi dalam penelitian ini berfokus pada pentingnya untuk melakukan penelitian perspektif dari remaja yang mengikuti pola pembinaan pembacaan Katekismus Heidelberg dalam ibadah. Maka penelitian ini dilakukan untuk memahami persepsi dari remaja mengenai hal ini. Penelitian ini dilakukan di beberapa Gereja Kristus Tuhan di wilayah Malang Raya yang masih membacakan Katekismus Heidelberg dalam ibadah sebelum terjadinya pandemi. Data dan informasi dari delapan orang responden didapatkan melalui metode penelitian kualitatif dasar untuk menggali perspektif dalam pembacaan Katekismus Heidelberg di ibadah Minggu.
Penemuan dalam penelitian ini terdiri dari tiga bagian utama yaitu pertama-tama adalah pengenalan terhadap pembacaan Katekismus Heidelberg dalam ibadah Minggu. Para responden telah melakukan pembacaan Katekismus Heidelberg dalam ibadah selama lebih dari tiga tahun. Namun para responden tidak serta merta mengetahui bahwa yang sedang mereka bacakan adalah Katekismus Heidelberg. Mereka juga tidak mendapatkan pembelajaran tentang katekismus ini di luar pembacaan ibadah Minggu.
Kedua adalah perspektif yang muncul dari para responden terhadap pembacaan Katekismus Heidelberg dalam ibadah Minggu. Mereka memiliki kesan bahwa pembacaan katekismus adalah monoton, membosankan, dan menggunakan bahasa yang sulit dimengerti. Responden juga tidak mengingat topik yang ada dalam katekismus. Selama melakukan pembacaan tersebut, para responden tidak pernah mendapatkan penjelasan tentang tujuan pembacaan katekismus ini. Hal ini menyebabkan mereka mempunyai pemahaman yang tidak sejalan dengan tujuan yang dicanangkan oleh sinode.
Ketiga, para responden memberikan masukan terhadap pembacaan Katekismus Heidelberg yaitu pembahasaan yang sederhana supaya mudah dipahami oleh generasi Z, isi dari Katekismus Heidelberg diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, membahasnya dalam ibadah maupun di luar ibadah Minggu seperti mengganti tanya jawab menjadi mini khotbah, membentuk KTB atau kelas pembinaan untuk membahasnya, menjelaskan isi, fungsi, dan tujuan pembacaan katekismus, topik yang dibahas menyatu dengan keseluruhan ibadah dan bukan merupakan bagian yang terpisah.
Jawaban yang mendominasi dari masukan responden adalah pembahasaan dan pengaplikasian dalam kehidupan sehari-hari. Masukan ini berdasarkan pengalaman dan kesan terhadap katekismus yaitu sulit dipahami dan tidak relevan bagi kehidupan mereka sebagai generasi Z. Mereka menyuarakan tentang perlunya gereja dalam melakukan perubahan terhadap pola dan bahasa yang digunakan dalam pembacaan katekismus ini. Responden mengharapkan suatu pembacaan yang dapat membuat mereka memahami dengan baik apa yang sedang dibacakannya. Mereka juga mengharapkan pembacaan katekismus ini diaplikasikan dalam kehidupan sebagai generasi Z sehingga pembacaan ini memiliki manfaat dan efek dalam kehidupan sehari-hari.