Kontekstualisasi Injil yang Transformatif dan Implikasinya bagi Penginjilan Terhadap Komunitas Hakka di Kalimantan Barat
Abstract
Tuhan Yesus menghendaki agar Injil diberitakan sampai ke ujung bumi sehingga segala bangsa dapat menjadi murid-Nya. Bangsa-bangsa ini memiliki karakteristik budaya yang unik, yang berbeda satu sama lain. Ketika Injil diberitakan lintas budaya, perbedaan-perbedaan budaya tersebut menciptakan hambatan-hambatan yang menyebabkan Injil tidak diterima. Untuk mengatasi hambatan tersebut, suatu pendekatan budaya yang disebut kontekstualisasi transformatif perlu dilakukan.
Suku Hakka di Kalimantan Barat memerlukan Injil yang dikontekstualisasikan secara transformatif ke dalam budaya mereka. Suku ini hidup dalam kungkungan kuasa kegelapan, tertipu dalam ajaran-ajaran yang tidak memerdekakan, terbelenggu oleh pengejaran hidup yang keliru, dan diperbudak oleh pengalaman traumatis sosial politik yang destruktif. Meskipun Injil sudah menjangkau mereka sejak satu abad lalu, tetapi orang yang percaya kepada Injil jumlahnya masih tidak signifikan.
Penyebab orang Hakka menolak Injil dapat dilihat dari tiga hal berikut ini. Pertama, karena kecurigaan bahwa agama Kristen akan membuang budaya mereka, yang artinya sama dengan membuang identitas mereka sendiri. Kedua, karena mereka tidak dapat memahami Injil yang memiliki asumsi dasar yang berbeda di ranah pandangan dunia. Ketiga, karena komunitas Kristen Hakka belum dapat meyakinkan mereka bahwa menjadi Kristen tidak harus tercabut dari budaya Hakka.
Oleh karena alasan-alasan di atas, maka kontekstualisasi Injil yang bersifat transformatif terhadap budaya Hakka sangat dibutuhkan. Kemestian melakukan kontekstualisasi transformatif merupakan suatu hikmat yang berakar dari pengajaran Alkitab. Usaha ini juga merupakan salah satu pemenuhan tanggung jawab dalam mandat budaya orang percaya, yang menjawab kebutuhan suku Hakka akan Injil dalam suatu pendekatan yang tidak membuat mereka tersandung. Tujuan kontekstualisasi transformatif adalah supaya Injil dimengerti secara utuh dan dihidupi dalam konteks budaya suku Hakka itu sendiri, sehingga mereka dapat menjadi terang dan garam di tengah-tengah komunitasnya.