Teo-Drama versus Tekno-Drama: Studi Komparatif Drama Penebusan Alkitab dengan Narasi Utopis Transhumanisme
Abstract
Narasi utopis transhumanisme mengusulkan pascamanusia sebagai telos seluruh makhluk. Usulan ini memang terkesan asing, tetapi invasi ilmu pengetahuan dan teknologi telah menyampaikan hal ini dengan gamblang--manusia dan semesta sedang bergerak menuju transendensi dirinya. Paling tidak, pascamanusia mendapat maknanya melalui kapabilitas teknologi “menyelesaikan” krisis kehidupan manusi--sakit penyakit, kemiskinan, dan perang. Adapun kepandiran paling ironis dari publik khususnya murid Kristus ialah kecenderungan bersikap apatis, pasif, dan agresif tanpa inisiatif untuk memahami mekanisme narasi utopis transhumanisme. Nyatanya, pascamanusia berkorelasi dengan hasrat terdalam manusia pada seluruh abad dan tempat--meniadakan penderitaan dan kematian. Jadi, tidak dipungkiri bahwa narasinya yang estetis dapat merenggut imajinasi publik dengan ataupun tanpa menggantikan serta mengerdilkan iman.
Penulis mengamati bahwa masalah utama yang dihadapi oleh murid Kristus ialah formasi imajinasi yang agamawi sekaligus badani demi mengartikulasikan kerangka makna kehidupan. Dikatakan agamawi karena transhumanis dan kekristenan terlihat sepakat perihal berita keselamatan dan restorasi seluruh ciptaan. Sementara itu, formasi imajinasi dikatakan badani karena narasinya merenggut imajinasi melalui habituasi pemberdayaan teknologi sehari-hari. Pasalnya, Alkitab memang menginisiasikan keselamatan dan restorasi. Akan tetapi, narasi utopis transhumanisme tidak kompatibel dan memadai sebab narasinya meniadakan tindak-tutur Allah sebagai penutur kerangka makna kehidupan.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode komparasi. Penelitian dilakukan dengan membandingkan narasi utopis transhumanisme dengan drama penebusan Alkitab. Adapun komparasi bertujuan untuk menemukan titik temu dan perbedaan yang berguna bagi pemuridan orang percaya. Di sisi lain, konsep antropologi penulis didasarkan pada pandangan James K.A. Smith. Oleh karena itu, penulis mengusulkan pendekatan terhadap Akitab sebagai drama Allah yang diusung oleh Kevin J. Vanhoozer. Namun, demi memperkaya pembahasan, penulis menambahkan beberapa pandangan lain yang menerapkan metode interpretasi teologis pada Alkitab.
Akhirnya, hasil dari penelitian akan menunjukkan sebab serta alasan narasi utopis transhumanisme dan drama penebusan Alkitab tidak saling kompatibel. Keduanya memang memaknai keadaan dunia saat ini sebagai keadaan yang belum sebagaimana mestinya. Untuk itu, keselamatan membuka ruang harapan bagi seluruh makhluk merealisasi kehidupan ideal. Meski demikian, peniadaan tindak-tutur Allah justru menghasilkan konflik internal yang menentang gagasan transhumanis sendiri. Alhasil, penulis menemukan bahwa kerangka makna yang ditawarkan oleh transhumanis cenderung nihil dan escapist; jika dibandingkan dengan drama penebusan Alkitab.