Hubungan Antara Fungsionalitas Keluarga dan Penghargaan Diri dengan Religiositas pada Remaja dan Dewasa Awal.
Abstract
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara fungsionalitas keluarga dan penghargaan diri dengan religiositas ekstrinsik pada remaja dan dewasa awal. Fungsionalitas keluarga adalah pandangan responden tentang keadaan keluarga mencakup lima subdimensi, yaitu: konflik, komunikasi, kohesi, kepemimpinan dan kesehatan keluarga. Penghargaan diri yang dimaksudkan adalah penilaian individu terhadap dirinya sendiri. Kemudian, yang dimaksud dengan religiositas adalah kecenderungan individu memperhatikan kehidupan beragama. Penelitian mencakup wilayah intrinsik dan juga ekstrinsik, namun menitikberatkan pada religiositas ekstrinsik, yaitu ketaatan individu melakukan praktik keagamaan demi kepentingan pribadi. Remaja adalah individu berusia 13-18 tahun, dewasa awal adalah yang berusia 19-35 tahun.
Hipotesis dari penelitian ini adalah pertama, terdapat hubungan negatif antara fungsionalitas keluarga dengan religiositas ekstrinsik. Semakin disfungsi keluarga, semakin tinggi tingkat religiositas ekstrinsik. Kedua, terdapat hubungan negatif antara penghargaan diri dengan religiositas ekstrinsik. Semakin rendah penghargaan diri, semakin tinggi tingkat religiositas ekstrinsik.
Metode penelitian yang digunakan adalah korelasional, mengukur korelasi antara variabel fungsionalitas keluarga dan penghargaan diri dengan religiositas ekstrinsik. Juga dilakukan uji perbedaan tingkat religiositas intrinsik dan ekstrinsik pada remaja dengan dewasa awal. Teknik sampling yang digunakan adalah convenience sampling. Persyaratan responden: Kristen, berusia 13-35 tahun, belum menikah dan bukan anak tunggal. Alat ukur fungsionalitas keluarga adalah Self-Report Family Instrument (SFI). Alat ukur penghargaan diri adalah Index of Self-Esteem (ISE). Alat ukur religiositas adalah Religious Orientation Scale (ROS).
Hasil analisis data menunjukkan tidak terdapat hubungan negatif antara fungsionalitas keluarga dengan religiositas ekstrinsik. Terdapat hubungan negatif antara penghargaan diri dengan religiositas ekstrinsik namun effect size-nya sangat kecil hanya 3%. Terakhir, ada perbedaan tingkat religiositas pada remaja dan dewasa awal. Religiositas-IE dewasa awal lebih tinggi daripada remaja. Religiositas-E remaja lebih tinggi daripada dewasa awal. Jadi, religiositas dewasa awal lebih didasari motivasi intrinsik sementara religiositas remaja lebih didasari motivasi ekstrinsik.
Tidak ditemukannya hubungan negatif antara fungsionalitas keluarga dengan religiositas ekstrinsik dan effect size yang sangat kecil pada hubungan negatif antara penghargaan diri dengan religiositas ekstrinsik kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor, seperti budaya Timur yang tidak berani/malu mengungkap realita dan juga faktor subjek penelitian yang homogen.
Akhir kata, secara teoretis disarankan agar dilakukan penelitian lanjutan dengan sampel yang heterogen. Selain itu, variabel fungsionalitas keluarga dapat dibuat lebih spesifik menjadi relasi anak-ayah atau anak-ibu untuk dicari korelasinya dengan religiositas ekstrinsik. Rentang usia sampel juga dapat dipersempit menjadi remaja saja atau dewasa awal saja. Sedangkan secara praktis, disarankan bagi keluarga-keluarga untuk meningkatkan keterbukaan dalam menjalin relasi dengan lingkungan paguyuban. Lingkungan paguyuban itu juga sedapatnya melibatkan partisipasi orangtua agar religiositas kawula muda dapat berkembang secara holistik. Pada akhirnya, kawula muda dapat mengembangkan perilaku beragama yang tampak saleh dengan didasari motivasi intrinsik yang diperkenan Allah.