Hubungan antara Kecemasan Berkomunikasi dan Self-Esteem dengan Asertivitas pada Remaja.
Abstract
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara kecemasan berkomunikasi dan self-esteem dengan asertivitas pada remaja. Kecemasan berkomunikasi merupakan kegelisahan emosi remaja yang meliputi perasaan tidak tenang, khawatir, dan takut ketika akan atau sedang berkomunikasi dengan orang lain dalam kelompok kecil atau kelompok besar. Self-esteem adalah penerimaan atau kepuasan seseorang terhadap dirinya sendiri. Asertivitas merupakan kemampuan individu mengekspresikan dirinya dengan cara-cara yang sesuai atau pantas, lebih proaktif terhadap kehidupan, dan secara langsung dapat mengekspresikannya pikiran dan perasaannya. Remaja adalah individu yang berusia 13-18 tahun.
Dalam berelasi, umumnya remaja memiliki kesulitan berinteraksi dengan baik sehingga muncul dua perilaku ekstrem yang merugikan. Bagi kelompok remaja yang rendah diri dalam pergaulannya cenderung menggunakan perilaku pasif (non asertif) dalam berinteraksi. Sedangkan, kelompok remaja yang lebih kasar dan yang kurang mampu mengendalikan emosinya menggunakan perilaku agresif dalam berinteraksi.
Ada perilaku yang tepat dan perlu terus dikembangkan oleh remaja yaitu perilaku asertif. Asertivitas remaja dapat dilihat melalui cara ia berelasi dengan sesamanya, dan melibatkan aspek yaitu bagaimana remaja tersebut memiliki cara yang tepat dalam berkomunikasi. Kecemasan berkomunikasi merupakan hal yang seringkali muncul di usia remaja. Banyak hal yang menjadi alasan remaja untuk menjadi cemas, di antaranya karena merasa tidak percaya diri, takut gagal, takut dinilai buruk dan lain sebagainya. Masa remaja merupakan masa transisi dan berbagai perubahan yang dialami remaja memiliki peran atas kepercayaan dirinya dalam berbagai situasi, semakin rendah kepercayaan diri remaja tersebut semakin rendah pula penghargaan dirinya.
Berdasarkan hal-hal di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kecemasan berkomunikasi dan self-esteem dengan asertivitas pada remaja. Hipotesis dari penelitian ini adalah:
1. Terdapat hubungan antara tingkat kecemasan berkomunikasi dengan asertivitas pada remaja. Semakin tinggi tingkat kecemasan berkomunikasi, maka semakin rendah asertivitas.
2. Terdapat hubungan antara self-esteem dengan asertivitas pada remaja. Semakin tinggi self-esteem, maka semakin tinggi pula asertivitas.
vi
Metode penelitian yang digunakan adalah korelasional, yang mengukur korelasi antara variabel kecemasan berkomunikasi dan self-esteem dengan asertivitas. Teknik sampling yang digunakan adalah teknik convenience sampling, yaitu pengambilan sampel didasarkan pada ketersediaan elemen dan kemudahan untuk mendapatkannya. Peneliti mendatangi subjek yang memenuhi persyaratan serta meminta kesediaan pimpinan lembaga tersebut agar mengizinkan murid-murid Diakonia menjadi sumber data. Persyaratannya adalah remaja berusia antara 13-18 tahun. Instrumen untuk mengukur kecemasan berkomunikasi adalah skala Communication Anxiety Inventory (CAI) yang dikembangkan oleh Booth-Butterfield dan Gould. Self-esteem diukur dengan menggunakan skala The Coopersmith Self-Esteem Inventories (CSEI) yang dibuat oleh Coopersmith. Alat ukur untuk mengukur asertivitas remaja adalah Assertiveness Scale for Adolescents (ASA) yang dibuat oleh Dong Yul Lee, Ernest T. Hallberg, Alan G. Slemon, dan Richard F. Haase.
Hasil analisis data menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan negatif antara kecemasan berkomunikasi dengan asertivitas dan tidak terdapat hubungan antara self-esteem dengan asertivitas pada remaja. Tidak ditemukannya hubungan yang signifikan ini kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor seperti unsur budaya Timur yang tidak mengajarkan asertivitas, remaja secara umum labil dan cemas, dan kurangnya pembinaan remaja yang membuat remaja berani untuk sharing tentang Firman Tuhan dan pengalaman hidupnya dalam Kelompok Tumbuh Bersama (KTB) atau dalam persekutuan remaja. Beberapa kekurangan penelitian seperti pengabaian faktor penting lain dan subjek penelitian yang homogen kemungkinan dapat menyebabkan tidak ditemukannya hubungan yang signifikan.
Akhirnya, disarankan agar dilakukan penelitian terhadap remaja yang sudah mendapatkan pelatihan asertivitas karena asertivitas dapat pula dicapai melalui latihan-latihan atau training-training. Selain itu remaja juga perlu diberikan pengajaran dan pendalaman Alkitab yang diintegrasikan dalam pelatihan asertivitas tersebut. Kemudian hasilnya dapat dibandingkan dengan penelitian terhadap remaja yang belum diberikan pelatihan asertivitas. Saran bagi remaja agar remaja memperluas pergaulan dengan mengikuti aktivitas-aktivitas yang ada di sekolah seperti olahraga dan kesenian serta aktivitas lain seperti aktivitas keagamaan dan aktivitas sosial yang ada di lingkungan tempat tinggalnya. Keterlibatan dalam berbagai aktivitas positif ini akan memperluas pergaulan remaja dan bermanfaat bagi pengembangan diri remaja.