Analisis terhadap Konsep Eklesiologi-Trinitarian Miroslav Volf dari Perspektif Eklesiologi-Trinitarian Injili
Abstract
Pada dua dekade terakhir kalangan injili diundang untuk terlibat dalam diskusi eklesiologi dan Trinitas, setelah selama beberapa waktu nampaknya isu ini tidak terlalu menarik bagi mereka. Bangkitnya diskusi trinitarian yang pada akhirnya memiliki signifikansi kepada berbagai area teologi yang lain menjadi topik yang menarik untuk dieksplorasi. Ini menjadi tantangan sekaligus harapan bagi kalangan injili untuk turut serta dalam memikirkan kembali konsep eklesiologi dari kerangka doktrin Allah Tritunggal. Interaksi teologis ini diharapkan dapat memberikan pemahaman doktrin gereja dari perspektif trinitarian. Miroslav Volf merupakan satu dari beberapa tokoh yang berusaha mengeksplorasi mengenai apa gereja itu dan bagaimana seharusnya gereja hidup di dalam dunia. Berangkat dari kegelisahan teologis atas konteks yang terjadi dan latar belakang pengalaman hidup, dia mencoba menjawabnya dengan menjadikan gereja sebagai solusi atas permasalahan yang ada. Melalui kerangka teologi trinitarian sosial yang berpusat kepada perichoresis, dia berpendapat bahwa gereja adalah komunitas yang merupakan gambar refleksi dari komuni kasih Allah Tritunggal. Karakteristik persekutuan Ilahi dari Trinitas yang senantiasa memberi diri di dalam kasih, dengan puncaknya di atas kayu salib, perlu menjadi identitas yang dimiliki oleh komunitas orang percaya. Gereja menjadi komunitas yang penuh kasih dan penerimaan, pengampunan, dan rekonsiliasi, sehingga gereja disebut sebagai komunitas yang menghidupi teologi merangkul. Gereja yang demikian menjadikan dirinya sebagai komunitas egalitarian-ekumenikal yang memiliki semangat kesetaraan sekaligus keterbukaan, baik di dalam relasi komunitas itu sendiri sampai kepada relasi gereja di tengah dunia. Konsep berpikir Volf perlu mendapatkan perhatian dari kalangan injili untuk memikirkan ulang pemahaman terhadap gereja dari perspektif trinitarian. Gereja merupakan komunitas yang merefleksikan persekutuan kasih Allah Tritunggal. Gereja perlu memahami dirinya sebagai komunitas yang bersifat relasional. Trinitarian relasional dapat menjadi kerangka yang dipakai untuk membangun doktrin gereja, di mana Allah Tritunggal berelasi di dalam ketiga Pribadi Ilahi-Nya, yang intim, unik dan khusus, tidak dapat dipisahkan namun dapat dibedakan. Pribadi Ilahi yang berelasi di dalam diri Allah Tritunggal dinyatakan dalam diri Yesus Kristus, sehingga manusia dapat berbagian dalam mengalami kesempurnaan relasi kasih Ilahi. Paradigma kristo-trinitarian seperti ini menjadikan setiap pribadi di dalam komunitas gereja sadar bahwa mereka memiliki kesamaan esensi sebagai gambar Allah dan ciptaan yang ditebus di dalam Kristus, sekaligus perbedaan masing-masing pribadi yang unik. Ini menjadikan gereja senantiasa mengusahakan dirinya sebagai komunitas yang melestarikan kasih yang harmonis, di dalam kesamaan dan keberbedaan, seperti dalam diri Trinitas. Keserupaan dengan Kristus merupakan identitas trinitarian yang dihidupi masing-masing pribadi di dalam komunitas yang senantiasa berelasi dengan harmonis dalam kasih. Dengan demikian, gereja menjadi komunitas relasional-harmoni, yang hidup sebagai gambar yang merefleksikan persekutuan kasih Allah Tritunggal.