Analisis Naratif Terhadap Teladan Kepemimpinan Yesus Dalam Injil Markus dan Implikasinya Bagi Strategi Manajemen Konflik Dalam Pelayanan Hamba Tuhan Masa Kini
Abstract
Dunia pada saat ini sedang mengalami krisis kepemimpinan global karena ada banyak pemimpin yang tidak melakukan fungsi kepemimpinannya sebagaimana mestinya. Sebaliknya, mereka semakin berfokus pada dirinya sendiri sehingga menimbulkan skeptisisme dan kekecewaan.
Berkaitan dengan itu, gereja—bukan dalam arti institusi, melainkan lebih kepada kesatuan tubuh Kristus—yang diharapkan dapat “memproduksi” pemimpin-pemimpin yang baik temyata juga tidak imun dari krisis kepemimpinan. Para pemimpinnya mengalami krisis integritas sehingga timbul masalah intern yang berat dan bahkan tak jarang menimbulkan kemelut yang berkepanjangan. Hal tersebut dikarenakan masalah konflik yang timbul di dalamnya belum ditangani dengan baik berdasarkan prinsip- prinsip kekristenan sebagaimana teladan kepemimpinan Yesus dalam Injil Markus.
Yesus memberi teladan bahwa pemimpin harus melayani sehingga dibutuhkan karakter yang rendah hati. Pemimpin juga harus berhikmat sehingga timbul kreatifitas dan ketangguhan dalam menyelesaikan konflik. Yang terutama dan yang membedakan pola kepemimpinan Kristen dan sekular adalah visi. Pemimpin Kristen harus visioner dalam arti ia hidup dan memimpin dengan berorientasi pada Allah sehingga keberhasilannya tidak diukur dengan sesuatu yang fana, melainkan yang kekal.
Akan tetapi pada kenyataannya, ada hamba Tuhan yang meninggalkan prinsip- prinsip Alkitabiah dan menerapkan pola kepemimpinan dunia yang terkenal keras dan kotor. Semua itu nampak dalam tiga cara menghadapi konflik dengan tiga jenis respons dasar yang menunjukkan penyimpangan dari hakikat kepemimpinan Kristen. Ketiga cara yang perlu diwaspadai dan dihindari oleh hamba Tuhan masa kini tersebut adalah: peace-breaking sebagai wujud kepemimpinan yang menyalahgunakan otoritas, peace-faking sebagai wujud kepemimpinan yang takut menderita, dan peace-seeking sebagai wujud kepemimpinan yang berorientasi pada manusia.
Untuk dapat menghindari terjadinya penyimpangan-penyimpangan tersebut, hamba Tuhan harus kembali becermin pada karakter kepemimpinan Yesus yang berorientasi pada Allah. Pada saat Allah menjadi pusat dan standar segalanya, pada saat itu pula akan terjadi kondisi damai ideal di mana ada komunitas dan persahabatan, kepuasan hati dan kemurahan hati, kepercayaan dan kebenaran, serta inspirasi dan komitmen