Tinjauan Terhadap Konsep Ibadah yang Sejati Dalam Roma 12:1-2 dan Relevansinya Pada Pemahaman dan Praktik Ibadah Kristen Masa Kini
Abstract
Ibadah merupakan inti dari kehidupan orang Kristen. Alkitab dengan jelas menyatakan bahwa sejak mula Allah memerintahkan umat-Nya untuk beribadah kepada- Nya. Allah memang patut untuk mendapatkan sembah dari umat-Nya karena segala perbuatan besar yang telah dilakukan-Nya. Setiap orang yang mengenal-Nya akan memberikan hormat dan pujian kepada-Nya. Namun seiring dengan berjalannya waktu, ibadah tidak lagi menempati urutan teratas dari kehidupan orang Kristen. Ibadah menjadi salah satu dari banyak kegiatan yang dapat dipilih orang Kristen setiap minggunya. Akibatnya, ibadah di gereja dirancang dan dikemas sebaik mungkin, bukan dengan alasan untuk memberikan yang terbaik kepada Allah tetapi supaya tidak kalah dengan kegiatan lain di luar gereja. Hal ini nampak ketika gereja mengadakan pembaruan ibadah dengan penekanan kepada kuantitas jemaat yang menghadirinya daripada kualitas jemaat yang beribadah. Ibadah tidak dibuat supaya orang Kristen memiliki kegiatan pada hari Minggu. Ibadah diperintahkan Allah sebagai respons atas perbuatan Allah kepada mereka. Paulus menegaskan hal ini ketika ia dalam Roma 12:1 menyatakan bahwa dasar ibadah adalah kemurahan Allah. Kemurahan Allah dinyatakan ketika Kristus mati untuk menebus dosa manusia dan mengangkat orang percaya menjadi anak-anak Allah. Orang percaya tidak lagi mengalami penghukuman tetapi kasih karunia Allah yang kekal. Atas kemurahan Allah yang besar ini, tidak ada respons yang lebih layak untuk diberikan selain orang Kristen memberikan dirinya sebagai persembahan. Ini berarti ibadah bukan tanggung jawab gereja atau pemimpin ibadah, tetapi tanggung jawab pribadi—bagaimana ia meresponi perbuatan Allah. Berdasarkan Roma 12:1-2, ibadah dapat dilihat sebagai persembahan diri, sebagai proses pengudusan dan sebagai persekutuan orang percaya. Apapun bentuk ibadah yang dilakukan baik secara pribadi maupun komunal, ketiga hal ini harus ada dan menjadi pagar untuk mengembangkan ibadah yang kontekstual. Zaman pascamodern ini membutuhkan orang-orang Kristen yang dapat memberikan dirinya secara utuh kepada Penciptanya di tengah pemberhalaan diri, yang dapat memberikan teladan hidup kudus seperti Kristus di tengah kekacauan, dan yang dapat memberikan kesaksian akan kasih Allah di tengah ketidakpedulian. Setiap orang Kristen yang menyadari akan pekerjaan Allah yang besar dalam dirinya, pasti akan menunjukkan syukumya melalui ibadahnya— sama seperti hamba yang menyatakan pengabdiannya dengan melayani tuannya.