John Calvin dan C. S. Lewis: Sebuah Perbandingan tentang Konsep Teodise dan Relevansinya bagi Orang-orang Kristen di Indonesia dalam Memahami Teodise
Abstract
Fatalisme telah menjadi filosofi yang tidak terpisahkan dalam hidup beragama dan bermasyarakat. Fatalisme hadir bersamaan dengan eksistensi pergumulan manusia tentang masalah penderitaan. Fatalisme adalah pandangan umum dalam masyarakat, bersifat melampaui waktu dan tempat di seluruh dunia serta di sepanjang zaman, termasuk di kalangan kekristenan, tanpa kecuali kaum injili di Indonesia. Salah satu alasan mengapa mempercayai fatalisme adalah karena pemahaman yang minim tentang masalah kejahatan, dalam hal ini konsep teodise. Berdasarkan agenda teologis tersebut, tesis ini mengangkat suatu studi perbandingan antara konsep teodise John Calvin dan C. S. Lewis. Perbandingan ini diharapkan dapat menjadi suatu alternatif untuk mengubah konsep fatalisme praktis yang populer di kalangan kekristenan di Indonesia. Walaupun konsep teodise Calvin dan Lewis termasuk di dalam kategori teodise kebaikan yang lebih besar, namun keduanya memiliki perbedaan secara epistemologis dan penekanan pada konsep teodise mereka masing-masing. Epistemologi Calvin menekankan bahwa konsep yang benar tentang diri manusia hanya dimungkinkan apabila manusia memiliki konsep yang benar tentang Allah. Manusia hanya dapat mengenali keselamatan yang dari Allah hanya melalui Alkitab. Konsep teodisenya didasarkan pada kehendak bebas kompatibilisme dan penekanan terhadap kedaulatan Allah yang mutlak atas seluruh keberadaan manusia. Sedangkan epistemologi Lewis menekankan bahwa manusia dapat mengenali keselamatan dari Allah melalui Alkitab, dan juga nilai-nilai yang objektif berdasarkan wahyu umum. Konsep teodisenya didasarkan pada kehendak bebas libertarian dan sangat menekankan konteks natural kehidupan manusia yang terikat pada hukum alam. Intensi penulis pada studi perbandingan ini adalah memberikan wawasan berteodise kepada para pembaca dan membuktikan bahwa kedua konsep teodise yang secara historis dianggap berseberangan tersebut tidak mengarah pada fatalisme. Selain itu, studi perbandingan ini juga akan membuktikan bahwa kekristenan memiliki argumen yang valid dalam menjawab masalah penderitaan tanpa perlu jatuh kepada fatalisme praktis. Dalam kaitannya dengan konteks kekristenan di Indonesia, penulis melihat studi ini menjadi sangat relevan. Beberapa alasan di antaranya adalah fakta bahwa teologi Reformed, yang dipegang oleh sebagian kaum injili, tidak terbebas dari fatalisme. Ditambah lagi, kondisi sosial dan alam Indonesia serta pengaruh Islam yang menerima "takdir" sebagai bagian dari iman mereka.