Tinjauan terhadap Hukum Karma Buddha berdasarkan Pengajaran Alkitab tentang Hukum Retribusi Ilahi
Abstract
Banyak orang mempertanyakan mengenai penderitaan dan ketidakadilan yang dialami manusia. Ada orang-orang yang terlahir dengan fisik sempurna, kaya, cerdas, sedangkan ada orang-orang yang justru terlahir dalam kondisi sebalikanya. Pertanyaan mengenai ketidakadilan ini berusaha dijawab oleh agama Buddha dengan menggunakan konsep hukum karma. Hukum karma mengajarkan bahwa setiap orang akan menuai akibat atas apa yang sudah diperbuat. Konsep karma ini sangat berkaitan dengan kondisi seseorang setelah kematian, sebab selama seseorang memiliki tabungan karma, itu akan membuat dirinya terlahir kembali. Perbuatan buruk seseorang di masa kini, akan berdampak terhadap nasib buruk di kehidupan selanjutnya, dan sebaliknya. Dengan pemahaman demikian, hukum karma ini dipandang mampu menjawab persolan ketidakadilan sebab setiap orang tidak akan menerima akibat yang melebihi dari yang ia telah lakukan, serta setiap orang tidak dapat lari dari akibat karma tersebut. Hukum karma ini jugan dipandang meninggikan martabat manusia, sebab sumber kekuatan untuk menentukan nasib mereka bersumber dari diri mereka sendiri. Dengan usaha yang pantang menyerah, setiap orang dapat membawa dirinya terlepas dari siklus kelahiran kembali, dan dapat menuju nibbana yang merupakan tujuan akhir dari kehidupan. Banyaknya keuntungan yang ditawarkan oleh konsep karma ini membuat ajaran ini dipandang sebagai jawaban yang paling rasional atas kehidupan. Itu sebabnya banyak orang yang terpengaruh oleh ajaran ini, termasuk orang Kristen. Alasannya karena konsep karma sama dengan konsep Alkitab bahwa setiap orang akan menuai sesuai dengan yang ditabur. Namun sesungguhnya, kedua konsep ini sangat berbeda secara esensi. Alkitab mengajarkan konsep retribusi ilahi, yaitu setiap manusia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Namun, hal ini tidaklah berlaku mekanis seperti hukum karma, sebab Allah bekerja melampaui sistem kerja retribusi ilahi. Nasib manusia bergantung pada kehendak Tuhan. Hal ini disebabkan manusia telah jatuh dalam dosa, sehingga memiliki kecenderungan melawan Allah. Namun karena anugerah Allah melalui penebusan Yesus Kristus sebagai pendamai antara Allah dengan manusia, maka hukuman itu tidak lagi akan ditimpakan kepada manusia, sebab telah ditanggung Yesus di atas kayu salib. Iman kepada Yesus Kristus lah yang menentukan apakah manusia akan memiliki kehidupan kekal atau kematian kekal, sebab kekristenan mengajarkan bahwa manusia hanya mati satu kali, setelah itu dihakimi. Namun demikian, iman kepada Kristus tidak mengurangi tanggung jawab umant percaya untuk berbuat baik. Sebaliknya, mereka tetap harus mempertanggungjawabkan perbuatan mereka, namun bukan untuk menentukan kehidupan atau kematian kekal, melainkan berbicara mengenai pahala yang akan diterima.