Kita akan membicarakan karakteristik kepemimpinan Kristen yang pas, yaitu pas untuk memenuhi kebutuhan di tengah-tengah bangsa kita sekarang yang memiliki terlalu banyak pemimpin tetapi tidak ada kepemimpinan—many leaders, too many leaders, but there is no leadership. Kita juga akan membicarakan karakter dan karakteristik yang pas sehingga dapat mengisi kebutuhan gereja di masa depan, agar gereja tidak menjadi pupuk bawang melulu atau hanya menjadi kambing congek saja dan supaya orang Kristen tidak hanya menjadi pelengkap penderita atau selalu menjadi gerbong yang paling belakang yang terus digoncang dan lebih sering ditinggalkan dari rangkaiannya di stasiun.
Kesempatan itu sebenarnya ada, bahkan kesempatan yang luar biasa—kesempatan emas, karena di tengah-tengah krisis yang sangat dahsyat sekarang ini bangsa kita membutuhkan—desperately—dua hal yang tidak ia miliki tetapi yang sebenarnya justru merupakan dua kekuatan, two added values, dua nilai tambah dari kekristenan. Bukankah bangsa kita saat ini, pada satu pihak membutuhkan integritas moral yang kuat, khususnya dari para pemimpinnya, dan di pihak lain, solidaritas integritas nasional serta solidaritas sosial di kalangan warga dan rakyatnya.
Pada awal sejarahnya kita tahu bahwa di situlah daya tarik dan kekuatan kekristenan itu, yaitu di dalam reputasi akademis, di dalam hal kecanggihan konsep pemikiran ajaran. Bagaimana kita dapat membandingkan Petrus, Yohanes, juga Paulus, dengan Plato, Socrates, dan Aristoteles. Kita tahu bahwa orang-orang tertarik masuk Kristen bukan karena status sosial orang-orang Kristen yang wah. Paulus sendiri mengakui hal itu di 1 Korintus 1:26: “Ingat saja Saudara-saudara keadaanmu waktu kamu dipanggil. Menurut ukuran manusia tidak banyak orang yang bijak, tidak banyak orang yang berpengaruh, tidak [p. 2] banyak orang yang terpandang.” Jadi mengapa? Kekristenan yang sebenarnya pada waktu itu compang-camping karena tekanan yang berat dari bangsa Yahudi dan pemerintah Romawi, mengapa tetap saja dapat menarik, bertahan, bahkan berkembang? Jawabnya adalah karena keteguhan moralitas dan solidaritasnya, persekutuannya. Kalau kita bertanya, lalu di mana letak persoalan kita?
Saya katakan, dua hal itu sebenarnya ada pada kita hanya sayangnya, kedua hal itu masih terkubur di dalam tanah, masih berupa potensi bukan energi yang siap pakai. Oleh karena itu, kalau mau, kita bisa menolong bangsa ini namun kita harus mengubah visi kita agar menjadi lebih luas, tidak hanya introver, tetapi juga ekstrover. Kalau kita meneliti Alkitab, akan kita temukan bahwa perintah “Pergilah!” jauh lebih banyak daripada perintah “Masuklah!” Itu berarti kita harus keluar, harus ekstrover. Kita harus mengubah kebiasaan buruk kita yang suka berdebat, suka ngotot, suka ngeyel, menghabiskan energi dan konsentrasi kita untuk hal-hal yang remeh, sepele, sementara api telah hampir membakar rumah. Kita juga harus menjadi orang yang berani bekerja keras. Menjadi pekerja yang berani berpeluh, berani berjuang, atau kalau memakai istilah Paulus, bahkan berani menumpahkan darah. Bukan menumpahkan darah orang lain, tetapi darah kita sendiri kalau perlu. Tidak melempem seperti kerupuk. Tidak lembek seperti bubur. Tetapi teguh tegar seperti paku, yang semakin dipukul, dihantam, ia semakin menghujam. Itulah yang dibutuhkan oleh bangsa dan gereja kita sekarang ini.
Mengenai yang terakhir ini, saya sangat prihatin. Saya katakan, yang dibutuhkan saat ini adalah orang Kristen yang tegar, berani berpeluh, berani berdarah, berani berjuang, berani lelah. Tetapi yang saya lihat malah sebaliknya. Ada gejala atau trend di mana orang-orang Kristen justru semakin manja, semakin cengeng dan semakin rapuh. Maunya yang gampang, yang cepat, yang enak. Kalaupun Injil, maunya Injil yang gampang. Kalaupun menjadi murid, maunya jadi murid yang enak. Kecenderungannya adalah konsumtif, mendapatkan berkat sebanyak-banyaknya, seolah-olah itulah tanda orang Kristen yang sukses. Bukan orang Kristen yang produktif, yang membagi berkat. Bukan mencari yang benar, tetapi yang menyenangkan, yang menghibur seperti yang ditulis oleh Paulus dalam 2 Timotius 4:3, 4: ”Karena akan datang waktunya, orang tidak dapat lagi menerima ajaran sehat, tetapi mereka akan mengumpulkan guru-guru menurut kehendaknya untuk memuaskan keinginan telinganya. Mereka akan memalingkan telinganya dari kebenaran dan membukanya bagi dongeng.” Itulah yang sedang terjadi sekarang. Kecenderungan hedonistik manusia ini lebih menyedihkan lagi karena seolah-olah sengaja dirangsang, dieksploitir [p. 3] oleh puluhan, mungkin ratusan, aliran yang tidak jelas juntrungannya kecuali keuntungan dan ego. Bukan hanya dalam hal teologi, tetapi juga dalam etika, moral. Orang-orang Kristen di Indonesia telah diporakporandakan oleh gejala yang parah ini.
Setelah melihat semua ini, mari kita mempertimbangkan satu model kepemimpinan yang ada di dalam Alkitab, bukan untuk dijiplak atau difotokopi mentah-mentah, karena kita tahu bahwa Alkitab bukan buku manual kepemimpinan dan bukan buku manual untuk apapun. Memang Alkitab berbicara mengenai kepemimpinan karena masalah kepemimpinan adalah hal yang sangat vital dalam kehidupan manusia, dan ini adalah masalah yang tidak dapat terhindarkan dari kehidupan orang per orang. Pilihan kita cuma dua: Kita dipimpin, atau, kita memimpin. Yang lebih sering kita alami adalah kedua-duanya yaitu, kita dipimpin dan juga kita memimpin. Apa yang penting bagi manusia adalah penting bagi Alkitab. Tetapi harus kita ingat bahwa firman Tuhan itu selalu lebih, selalu melampaui, selalu beyond, transenden terhadap kebutuhan dan kehidupan empiris manusia. Oleh karena itu Alkitab tidak hanya menyajikan satu model kepemimpinan yang ideal. Di dalam Alkitab model itu selalu berubah dan bervariasi sesuai dengan situasi dan kebutuhan yang ada. Itu sebabnya model kepemimpinan Musa berbeda dengan model kepemimpinan Yosua; bentuk kepemimpinan hakim-hakim berbeda dengan bentuk kepemimpinan raja-raja. Samuel pernah merangkap tiga fungsi sekaligus yaitu imam, nabi, dan raja, tetapi kemudian ketiganya terpisah ketika Israel menjadi monarkhi.
Di Perjanjian Baru kita juga melihat hal yang sama. Pada awalnya gereja purba sudah merasa cukup dipimpin oleh para rasul dengan semua kharisma mereka. Tetapi Kisah Rasul 6 segera mencatat, memberi kesaksian bahwa kebutuhan dan situasi baru menuntut suatu bentuk kepemimpinan yang lain, suatu bentuk struktur organisasi yang lain. Mulailah apa yang disebut diaken, syamas diakonoi. Kisah Rasul 11 kemudian memperkenalkan jabatan lain yaitu presbuteros, jabatan penatua atau tua-tua. Kisah Rasul 13 berbicara mengenai nabi-nabi yang memimpin jemaat di Antiokhia. Kemudian entah bagaimana dan dari mana, episkopos hadir dan ada variasi baru di dalam Kisah Rasul. Kalau kita mempelajari surat-surat Paulus, variasi itu jauh lebih kaya lagi.
Apa sebenarnya yang hendak dikatakan melalui semua ini? Semuanya hendak mengatakan bahwa prinsip kepemimpinan Kristen yang pertama adalah keanekaragaman atau pluriformitas bentuknya, fleksibilitasnya, kelenturannya, keluwesannya. Dan bukankah memang benar bahwa Tuhan itu seringkali jauh lebih luwes, jauh lebih fleksibel daripada kita, manusia dan pemimpin-pemimpin gereja. Inilah asas pokok kepemimpinan Kristen, yaitu keanekaragaman atau pluriformitas [p. 4] kepemimpinan. Tetapi saya juga harus segera menambahkan satu prinsip lain yang membentuk dwitunggal dengan prinsip pertama tadi, yakni, kepemimpinan Kristen itu hanya mengenal satu pemimpin.
Dwitunggal prinsip kepemimpinan Kristen itu adalah beranekanya bentuk kepemimpinan, dan adanya satu pemimpin. Di dalam beranekaragamnya situasi yang terus-menerus fluktuatif dan berubah, boleh dan harus ada beraneka ragam bentuk, tipe, model, struktur kepemimpinan supaya kepemimpinan dapat dijalankan dengan efektif, tepat guna, dan daya guna. Tetapi di dalam keadaan apapun dan di dalam model kepemimpinan yang bagaimanapun, hanya boleh ada satu Pemimpin. Pemimpin dengan huruf besar yaitu Tuhan Allah. Tidak bisa lain, karena ini sebenarnya mengekspresikan iman yang monoteistis, yang konsekuen dengan Alkitab yang mengatakan: “Jangan ada allah lain di hadapan-Ku.” Tetapi ini juga mengekspresikan salah satu godaan terbesar. Salah satu kelemahan terbesar manusia—dan yang paling fatal adalah kecenderungannya untuk menjadi seperti Allah. Sejak manusia yang pertama sampai sekarang, bukankah itu yang kita jumpai di kantor manapun, baik pemerintah, swasta, maupun di gereja. Orang-orang yang berlagak dan mengklaim dirinya seolah-olah ia adalah tuhan-tuhan kecil dan allah-allah kecil.
Dengan pemikiran itu saya ingin memperkenalkan seorang tokoh Alkitab yang, sepanjang pengetahuan saya yang terbatas, tidak pernah dijadikan model kepemimpinan yang ideal. Tetapi menurut saya tokoh ini dapat dijadikan inspirasi yang sangat kaya dan sangat relevan untuk kita sekarang. Tokoh itu adalah Yohanes Pembaptis, yang oleh saudarasaudara Katolik disebut Yohanes Pemandi. Mengapa Yohanes Pembaptis? Pertama, karena tokoh ini sebenarnya sangat cocok untuk memenuhi obsesi dan ambisi yang sebenarnya ada—baik secara terbuka maupun tersembunyi—pada semua orang termasuk Saudara dan saya. Apakah itu? Keinginan untuk menjadi besar, menjadi orang besar, bahkan yang terbesar, paling besar. Ada sindrom megalomaniak pada setiap orang; kecil atau besar, tersembunyi atau tidak. Yohanes disebut oleh Alkitab sebagai orang besar. Siapa yang mengatakan hal itu? Tidak lain dari Yesus sendiri sebagaimana dicatat di Lukas 7:28, ”Aku berkata kepadamu: Di antara mereka yang dilahirkan oleh perempuan tidak ada seorang pun yang lebih besar daripada Yohanes, namun yang terkecil dalam Kerajaan Allah lebih besar daripadanya.” Oleh karena itu, kalau kita ingin menjadi orang besar, belajarlah dari Yohanes.
Kedua, saya mengambil tokoh Yohanes karena ia berada di dalam masa transisi—masa peralihan yang besar di antara dua era. Masa antara PL dan PB; antara BC dan AD; masa transisi antara sebelum dan sesudah Kristus. Dalam arti yang lebih luas, mirip dengan situasi kita sekarang [p. 5] yang juga sedang berada dalam masa peralihan dua era besar, antara era modern dan era pascamodern; antara Indonesia lama dan cita-cita untuk mendirikan Indonesia baru. Juga ada transisi besar di dalam gereja-gereja kita, karena gereja-gereja yang pernah disebut sebagai gereja-gereja yang mapan—established, sekarang ini berada dalam keadaan yang paling tidak mapan, goyang dan goncang.
Mengapa saya memilih Yohanes juga, ketiga, karena Yohanes sadar benar bahwa ia adalah tokoh yang dipanggil secara khusus untuk mempersiapkan umat Tuhan menyongsong era baru itu. Lukas mencatat hal itu dalam Injilnya, ”Karena tentang Dia ada tertulis: Lihatlah, Aku menyuruh utusan-Ku mendahului Engkau, ia akan mempersiapkan jalan- Mu di hadapan-Mu” (7:27). Di mana letak kebesaran Yohanes sehingga Yesus mengatakan bahwa di antara mereka yang pernah dilahirkan oleh perempuan, tidak ada yang lebih besar daripada Yohanes?
Ada beberapa hal yang bisa saya katakan di sini. Pertama, kalau kita amati dari pembacaan kita tadi, kebesaran Yohanes itu bukanlah karena ia adalah seorang superman. Sebaliknya, Yohanes adalah orang yang mengenal perasaan ragu, takut, gelisah dan juga rasa kecewa, sehingga mengenai dia Yesus mengatakan, ”Berbahagialah orang yang tidak menjadi kecewa dan menolak Aku” (ay. 23). Dialah yang pernah meragukan, “Engkaukah yang akan datang itu atau haruskah kami menantikan seorang lain?” Kalau masih ada orang lain lagi alangkah sia-sianya pengorbananku, demikian kira-kira pikiran Yohanes. Apa yang mau dikatakan melalui semua ini? Kita bisa menjadi orang yang besar, dan tidak harus menjadi superman untuk menjadi orang yang besar di hadapan Yesus. Yesus memanggil kita di dalam segala keberadaan kita sebagai manusia.
Kedua, kebesaran Yohanes itu agaknya bukan karena ia seorang yang keras seperti beton atau besi baja yang memang kuat luar biasa tetapi sekali patah, tidak bisa disambung lagi. Yesus mengumpamakan Yohanes itu seperti buluh, ”Setelah suruhan Yohanes itu pergi, mulailah Yesus berbicara kepada orang banyak itu tentang Yohanes: ’Untuk apakah kamu pergi ke padang gurun? Melihat buluh yang digoyangkan angin kian kemari?’” (ay. 24). Besar di dalam penilaian Yesus ternyata bukan macho. Besar dalam pandangan Yesus bukan seperti Arnold Schwarzenegger atau Ade Rai. Besar itu bukan menakutkan. Besar bagi Yesus berarti teguh di dalam prinsip, seperti buluh, seperti bambu yang goyang ke kanan dan ke kiri tetapi tidak patah.
Ketiga, di dalam Lukas 7:25 Yesus berkata, ”Atau untuk apakah kamu pergi? Melihat orang yang berpakaian halus? Orang yang berpakaian indah dan yang hidup mewah, tempatnya di istana raja.” Kebesaran Yohanes terletak pada kesederhanaannya. Kebesaran itu tidak terletak [p. 6] pada penampilan luarnya, tetapi pada karakternya, kualitasnya. Saya yakin seandainya Yohanes Pembaptis hidup pada zaman ini, ia pasti tidak akan membeli gelar doktor atau profesor. Orang yang sederhana adalah orang yang tidak gampang kena godaan sebab ia sudah merasa cukup dengan apa yang ada dan ia bersyukur. Yang ia cari bukanlah sesuatu yang menyala tetapi yang lebih mulia, lebih agung, lebih luhur. Karena itu saya sedih kalau melihat seorang penginjil hendak menandai kebesarannya dengan Mercedez Benz atau arloji Rolex. Mereka harus belajar dari Yohanes Pembaptis.
Keempat, kebesaran Yohanes Pembaptis terletak pada keberaniannya. Ada dua hal yang hendak saya katakan mengenai keberanian Yohanes ini. Pertama, keberanian Yohanes itu tidak hanya ditunjukkan ketika ia harus berhadapan dengan orang-orang kecil. Banyak orang sekarang yang galak setengah mati ketika berhadapan dengan orang kecil, menjadi penindas orang-orang kecil. Yohanes memiliki keberanian yang tidak pandang bulu. Ia tidak hanya main sikat terhadap orang tertentu, tetapi siapapun kalau perlu akan ia sikat. Salah satunya ialah pemimpinpemimpin agama yang dianggap sebagai pemegang kunci surga dan yang berteriak-teriak agar orang-orang lain bertobat. Namun di Matius 3:7- 9 mereka disebut sebagai keturunan ular beludak yang harus bertobat. Yang lain adalah tentara—yang tegurannya sebenarnya masih berlaku bagi tentara-tentara dan polisi-polisi kita—seperti yang terdapat di Lukas 3:14, ”Dan prajurit-prajurit bertanya juga kepadanya: ’Dan kami, apakah yang harus kami perbuat?’ Jawab Yohanes kepada mereka: ’Jangan merampas dan jangan memeras dan cukupkanlah dirimu dengan gajimu.’” Demikian juga terhadap jendral-jendral, bahkan raja dan ratu, termasuk Herodes yang seolah-olah berkuasa atas hidup dan matinya seseorang. Memang Yohanes harus menanggung risiko atas keberaniannya. Bukan itu saja, keberanian Yohanes tidak hanya ia nyatakan dalam bentuk keberanian yang tanpa pandang bulu, tetapi juga keberanian yang tidak menghiraukan risiko. Ia tidak hanya berani ketika keadaan tidak menuntut risiko. Yohanes bukan seorang jago kandang. Ia juga bukan seorang oportunis yang cuma berani kalau tidak ada risiko. Ini yang paling banyak kita jumpai sekarang, terutama di DPR. Para politisi dan pengamat yang seakan-akan berlomba dalam hal ketajaman memaki, mengumpat, mencaci, ketika sudah tidak ada risiko, padahal mereka adalah orang yang paling bungkam sebelumnya.
Terakhir, yang kelima tetapi bukan berarti yang paling tidak penting. Camkan bahwa kebesaran Yohanes terutama terletak pada kerendahan hatinya. Ia tidak membesarkan diri dari yang seharusnya, tetapi jelas ia tidak rendah diri, tetapi juga tidak megalomaniak. Ia bersedia untuk mempersiapkan jalan bagi orang lain, artinya menjadi nomor dua. Baca [p. 7] Injil Yohanes 1:20, 23, ”Ia mengaku dan tidak berdusta katanya: ’Aku bukan Mesias.’ . . . Jawabnya: ’Akulah suara orang yang berseru-seru di padang gurun: Luruskanlah jalan Tuhan! Seperti yang telah dikatakan nabi Yesaya.’” Saya ini hanya orang nomor dua. Amien Rais saja pernah menolak untuk dijadikan orang nomor dua. Yohanes Pembaptis menyadari dirinya. Ia siap untuk mengakui kebesaran orang lain seperti yang dicatat di Yohanes 1:26, 27, ”Yohanes menjawab mereka, katanya: ’Aku membaptis dengan air; tetapi di tengah-tengah kamu berdiri Dia yang tidak kamu kenal, yaitu Dia, yang datang kemudian dari padaku. Membuka tali kasut-Nya pun aku tidak layak.’” Jarang ada pemimpin seperti ini. Semua pemimpin akan merasa dan mengatakan “Aku yang terbesar, yang terpintar, yang terbenar.” Padahal kalau seseorang itu sudah mengatakan dirinya yang “ter,” terbesar, terbenar, terhebat, berarti ia sudah mentok, sudah tidak bisa berkembang lagi. Justru kemungkinannya ia hanya bisa menjadi kerdil dan semakin kerdil.
Yang lebih penting dari itu, ketika tiba waktunya, Yohanes bersedia untuk mengundurkan diri ke balik layar. Kebanyakan persoalan di gereja, di dunia ini disebabkan oleh orang yang sebenarnya sudah waktunya untuk mundur tetapi ia tidak mau mundur. Yohanes dengan sukarela mengundurkan diri. Kita dapat melihatnya di Yohanes 3:30, ”Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil.” Semua itu dilakukan dengan ikhlas, dengan sadar, dengan sukacita. Di Yohanes 3:28, 29 ia mengatakan bahwa fungsinya adalah seperti pendamping mempelai laki-laki. Karena itu ketika mempelai laki-laki itu datang—tidak ada sukacita yang lebih besar bahwa mempelai laki-laki itu sudah datang—ia bisa mengundurkan diri, untuk menghantar orang masuk kepada era baru, menghantar generasi baru menyeberangi sungai Yordan dan masuk ke tanah perjanjian.
Apakah Saudara ingin menjadi orang besar? Itu baik-baik saja, tidak salah. Menjadi semakin besar juga oke-oke saja, tetapi menjadi besarlah dengan cara-cara yang menunjukkan kebesaran jiwamu. Jadilah besar, tetapi besar di hadapan Tuhan dan di dalam penilaian Allah. Artinya, besar yang sejati. Apakah itu? Yaitu menjadi besar oleh karena bersedia menjadi yang terkecil di kerajaan Allah. Betapa bangsa ini, gereja-gereja kita, membutuhkan pemimpin-pemimpin seperti Yohanes, yang tidak menengok ke belakang, yang defensif mempertahankan masa lalu, tetapi mempersiapkan masa depan. Yang tidak introver, melihat dan mengukur semua dari kepentingan diri dan dari keamanan posisinya, tetapi menatap kepada Dia, Sang Pemimpin satu-satunya. Dia yang makin bertambah, aku yang makin berkurang. Bolehkah harapan ini saya titipkan kepada Saudara, supaya Saudara menjadi pemimpin-pemimpin yang berkarakter seperti itu?
Catatan
* Khotbah ini disampaikan pada Kebaktian Pembukaan Semester tanggal 19 Januari 2001 di Seminari Alkitab Asia Tenggara; naskah ini diketik dan disadur oleh Ester Sri Astuti, S. Pd. dan Lie Ing Sian, S. Th., dan dimuat dengan izin lisan dari Pdt. Dr. Eka Darmaputera.