Nas Alkitab: II Timotius 4:13: “Jika engkau ke mari bawa juga jubah yang kutinggalkan di Troas di rumah Karpus dan juga kitab-kitabku, terutama perkamen itu.”
Antara tahun 1835-1910 hiduplah seorang yang bernama Samuel Langhorne Clemens atau yang lebih dikenal dengan nama Mark Twain. Ia adalah seorang penulis novel Amerika, khususnya novel anak-anak. Dua buah karyanya yang terkenal berjudul Huckleberry Finn dan Tom Sawyer. Sebagai seorang penulis yang cukup dikenal, pada suatu kali Mark Twain mengundang cukup banyak orang ke rumahnya untuk beramah-tamah. Istri Mark Twain yang bernama Olivia sibuk sekali mempersiapkan acara tersebut dan mengatur segala urusan rumah tangga. Tidak heran, karena mereka mengadakan arisan bagi para tamu di mana yang datang terutama adalah ibu-ibu tetangga mereka.
Ketika mereka sedang menikmati makanan kecil, salah seorang tamu bertanya tentang buku-buku yang dimiliki Mark Twain. Mark Twain memang mempunyai banyak sekali buku. Ada yang berderet rapi dan ada juga yang berserakan di sana-sini. “Untuk apa buku sebanyak ini?” demikian tamu tersebut bertanya heran. Olivia yang sederhana dan memang lugu itu menjawab singkat: “Untuk dibaca.” Mendengar jawaban singkat itu tamu tersebut bertambah penasaran sehingga ia bertanya lagi “Dibaca semuanya?” “Tentu. Bahkan, kadang-kadang ada buku yang dibaca berulang-ulang,” sahut Olivia ringan.
Percakapan tersebut kebetulan didengar Mark Twain. Kemudian sesudah para tamunya pulang, ia berkata kepada istrinya: “Oliv-ku sayang, lain kali kalau ada tamu yang datang dan bertanya seperti itu lagi tentang buku kita, katakan saja bahwa buku-buku itu memiliki banyak kegunaan: buku itu ada yang tebal, yang tipis, dan yang sedang. Yang tebal bisa kita gunakan sebagai bantal, kalau kita tidak punya bantal; bisa juga kita pakai sebagai anak tangga, atau bisa juga untuk tempat duduk darurat kalau engkau sedang bekerja dan kebetulan tidak ada kursi. Sedangkan buku yang berukuran sedang bisa untuk mengganjal meja, kalau misalnya meja kita goyang-goyang, juga untuk mengganjal almari, dan bisa juga untuk melempar ayam, kucing, memukul kecoa atau apa saja. Buku yang tipis bisa dipakai untuk kipas-kipas, atau menyabet anak yang bandel dan anjing yang susah diatur dan perlu didisiplin. Jadi, katakan kepada tamu kita bahwa buku itu mempunyai banyak sekali kegunaan.” Begitu kira-kira sindiran Mark Twain untuk orang yang tidak mengerti apa artinya buku.
Bagi kita yang hidup di zaman modern ini, kalau suatu ketika kita berkunjung ke rumah seseorang yang makmur secara materi, kadang-kadang kita juga akan melihat berderet-deret buku diletakkan dengan sangat rapi di rak yang mahal bersama dengan benda-benda antik. Biasanya mereka juga meletakkan berbagai set ensiklopedia yang disorot dengan lampu yang tertata apik. Sebagai tamu mungkin kita masih boleh bertanya tentang apa nama atau judul buku tersebut. Tetapi sedapat mungkin jangan bertanya apa isinya, karena jangan-jangan tuan atau nyonya rumah akan kebingungan untuk menjawabnya. Mengapa? Karena sebagian orang akan lebih siap menjelaskan isi album foto, arti lukisan mahal yang dipajang, dan nilai atau harga barang hiasan dan benda-benda antik seperti patung, guci atau apa saja, daripada harus menjelaskan isi buku tertentu.
Buku ternyata sudah sedemikian bergeser fungsinya bagi sebagian orang. Saya tidak tahu bagaimana kebanyakan hamba Tuhan memperlakukan buku-buku yang dimilikinya. Berkaitan dengan buku, pada kesempatan ini saya mengajak kita memikirkan apa yang dapat kita pelajari dari rasul Paulus.
Pertama, bagi Paulus buku adalah bagian dari kehidupan yang esensial atau penting sifatnya. Ketika menulis ayat di atas, Paulus sedang bermukim di dalam penjara yang pengap. Bantalkah yang ia perlukan sehingga Paulus mencari buku? Tentunya tidak demikian. Saya kira Paulus juga bukan seperti orang modern yang saya sebutkan tadi yang menginginkan buku sekadar untuk koleksi saja; perkara dibaca atau tidaknya, itu urusan belakangan. Ia juga bukan sekadar ingin memperlihatkan kepada rekan kerja atau temannya dan juga orang lain di kota Roma bahwa ia mempunyai sedemikian banyak koleksi kitab. Sekali lagi, saya kira kita tidak akan berpikir demikian. Kemungkinan besar Paulus meminta kitab itu karena ia rindu untuk bisa membaca, di tengah-tengah kehidupan penjaranya yang terakhir itu. Bayangkan, seorang rasul seperti Paulus saja memerlukan buku untuk dibaca, apalagi kita yang bukan nabi dan rasul. Bayangkan juga, sebagai seorang rasul yang telah melayani selama lebih kurang 30 tahun—suatu pengalaman yang panjang sekali—Paulus tetap rindu membaca buku.
Saudara, Paulus adalah seorang rasul yang mempunyai banyak pengalaman spektakuler (mujizat, nubuat, penglihatan). Kita dapat menyimak fakta tersebut di Alkitab. Ia pernah berjumpa dengan Tuhan Yesus, pernah menyaksikan seseorang yang naik ke langit yang ketiga, pernah mendapatkan wahyu atau penyataan seperti yang disebutkan dalam Galatia 1:12. Semua pengalaman tersebut dapat dikatakan tidak pernah kita alami sekarang, kecuali ada tokoh aliran tertentu yang mengaku-aku demikian. Kalau kita perhatikan kesaksian-kesaksian orang-oang terkenal, misalnya seorang pengusaha besar, tokoh bisnis atau artis, atau bahkan kita sendiri yang mempunyai satu pengalaman pertobatan tertentu, seringkali ternyata pengalaman yang itu-itu saja yang dipakai terus-menerus baik untuk kesaksian, untuk pelayanan, untuk khotbah. Cerita yang disampaikan dari tempat yang satu ke tempat lainnya biasanya yang itu-itu saja, hanya mungkin dibolak balik atau putar sana - putar sini. Anehnya, ternyata ada banyak orang yang senang terus-menerus mendengar kesaksian yang itu-itu juga. Oleh sebab itu tidak heran kalau saudara menjumpai bacaan yang berisi kesaksian Catherine Baxter yang katanya dituntun oleh Tuhan Yesus 40 hari 40 malam turun ke neraka, dan ada begitu banyak orang yang tertarik untuk membaca tulisan tersebut. Berbeda sekali dengan rasul Paulus. Walaupun ia telah berjumpa dengan Tuhan Yesus, tetapi ketika.menceritakan pengalaman spektakuler itu, Paulus melakukannya dengan sangat hati-hati dan ia tidak membanggakan pengalaman tersebut. Justru yang kita lihat disini pada hari tuanya pun Paulus tetap rindu membaca buku. Padahal, kita pasti tahu bahwa biasanya orang-orang tua di hari tuanya senang sekali menceritakan pengalaman masa lalunya, mengulang cerita yang itu-itu juga sampai-sampai yang mendengar menjadi bosan karena terus-menerus mendengar pengulangan ceritanya.
Yang kedua, bagi Paulus semua orang boleh meninggalkan dia, rekan kerja boleh pergi ke tempat yang lain, tetapi harus ada buku yang menemani untuk menghangatkan kehidupan. Kalau saudara membaca ayat 10, di sana dikatakan “Demas telah mencintai dunia ini dan meninggalkan aku ... Kreskes telah pergi ke Galatia dan Titus ke Dalmatia.” Lalu ayat 12 “Tikhikus telah kukirim ke Efesus.” Kemudian juga di ayat 14 dan 15 kita membaca tentang seorang bernama Alexander yang menyakiti hati Paulus dengan cara berbuat jahat kepadanya. Pada ayat 16 Paulus mengatakan: “Pada waktu pembelaanku yang pertama, tidak seorang pun yang membantu aku, semuanya meninggalkan aku.” Di tengah kesepian seperti itulah, Paulus rindu kepada yang satu itu yaitu kitab-kitab yang bisa dan biasa menemaninya. Memang kalau saudara perhatikan ayat 11, Paulus mengatakan hanya Lukas yang tinggal dengan dia. Dan kalau kita perhatikan sosok pribadi Lukas, selain disebut sebagai seorang dokter dan seorang sejarawan, ia juga dapat disebut sebagai seorang kutu buku, orang kitab. Yang menemani Paulus adalah orang yang mencintai kitab atau mencintai buku. Saya katakan demikian sebab Lukas mengatakan bahwa sebelum ia menulis Injil Lukas ia menyelidiki dengan teliti bahan-bahan yang ada, literatur yang ada. Jadi boleh dikata ia adalah seorang yang suka melakukan riset dan mencintai kitab. Paulus pun sama. Ia adalah seorang yang mencintai kitab.
Suatu kali saya pernah berjumpa dengan seorang teolog Injili ketika saya melanjutkan studi di Trinity Evangelical Divinity School. Ia adalah seorang yang sudah berusia tujuh puluhan dan dari caranya berjalan orang dapat menduga bahwa ia sudah cukup uzur. Orang itu sering memakai topi bila berjalan di udara terbuka karena ia sudah kehilangan banyak rambut alias botak. Walaupun ketika itu musim dingin, ia masih mengajar di sana padahal umurnya sudah kakek-kakek. Orang itu adalah Carl F. H. Henry. Kalau ia masih hidup sekarang (tahun 2000) pasti usianya sudah 80 tahun lebih. Bayangkan, pada waktu itu ia masih rajin ke perpustakaan, rajin menulis dan rajin membaca buku. Saya yang masih muda merasa malu kalau saya menjadi sedikit malas ketika mengerjakan sesuatu. Setiap kali saya menjadi sedikit malas, saya teringat pada orang itu. Ia telah memberi teladan tentang suatu semangat hidup yang sedemikian besar. Jikalau dalam kehidupan kita sekarang ini kita cenderung bermalas-malasan baik dalam studi, pelayanan atau apa saja, kita seharusnya malu kepada orang-orang yang usianya lebih tua dari kita tetapi masih tetap rajin. Oleh sebab itu marilah kita mengingat orang rajin yang usianya lebih tua dari kita seperti Carl Henry atau seperti Paulus. Suatu hari nanti, jika dalam pelayanan kita merasa tidak ada orang yang menemani, dan kebanyakan orang sudah meninggalkan kita atau meninggal lebih dulu, kita mewarisi suatu kebiasaan yang baik dari teladan rasul Paulus, yaitu buku yang bisa menemani kita dan yang tidak dapat digantikan dengan apa pun juga.
Yang ketiga, bagi Paulus sekalipun buku-buku adalah penting tetapi Kitab itu yang adalah firman Tuhan merupakan bagian yang paling utama. Saya katakan firman Tuhan karena disini ada dua istilah yang berbeda: kitab-kitab dan perkamen. Kitab (biblion) yaitu gulungan atau terjemahan. Biasanya satu gulungan adalah satu buku. Tetapi istilah “perkamen” (dalam bahasa Yunani membrana; bahasa Inggris parchment) diterjemahkan oleh F. F. Bruce sebagai “let it be especially the Bible.” Perkamen biasanya dibuat dari kulit binatang, misalnya kulit kambing, antelope dan sebagainya. Oleh karena itu perkamen umumnya lebih tahan lama. Tetapi, selain itu, harganya lebih mahal. Dengan demikian jelaslah bagi kita mengapa materi perkamen dipakai untuk penulisan bagian dari firman Tuhan. Jadi yang Paulus maksud ketika ia meminta dibawakan perkamen itu ke penjara tempat ia ditahan, berarti ia minta dibawakan sebagian dari Alkitab Perjanjian Lama atau bagian dari Injil atau bagian dari surat-surat yang pernah ia tulis atau yang ditulis rasul lain. Yang mana yang Paulus minta tidak jelas, tetapi yang pasti itu adalah bagian dari Alkitab yang adalah firman Allah.
Coba kita perhatikan: pada waktu itu rasul Paulus sedang mengalami kesusahan yang besar. Ia harus berada dalam penjara yang sama sekali tidak menyenangkan di hari tuanya. Ia berada dalam keadaan kedinginan, kesepian, tetapi dalam keadaan demikian, selain buku, ia mencari firman Tuhan. Saya rasa Paulus sesungguhnya tahu cukup banyak tentang Alkitab Perjanjian Lama. Bahkan ia mungkin telah hafal bagian-bagian tertentu dari firman Tuhan, apalagi ia pernah mendapatkan wahyu secara langsung. Tetapi pada hari tuanya ia tetap minta dibawakan kitab-kitab dan perkamen dari kota yang bernama Troas yang jaraknya untuk waktu itu jauh sekali, yaitu kurang lebih 500 km.
Bagi kita yang saat ini sedang melayani di ladang Tuhan atau yang sedang menempuh pendidikan di sekolah teologi kita tidak boleh melupakan pentingnya membaca buku, terutama Alkitab. Jikalau kita tidak membiasakan diri membaca ketika masih berusia muda, tidak ada jaminan bahwa nanti setelah 10, 20 atau 30 tahun kemudian kita masih mau dan mampu membaca. Harapan dan doa saya adalah supaya kita semua yang dipanggil untuk melayani Dia, kita juga akan tetap mencintai buku-buku dan terutama firman Tuhan sepanjang hidup kita di dunia ini. Sebab, jikalau kita tidak melatih tubuh dan jiwa kita sekarang untuk mencintai firman Tuhan dan buku-buku, di tengah-tengah kesibukan pelayanan kita nanti di ladang Tuhan, agaknya kita tidak akan mempunyai cukup waktu lagi baik untuk persiapan pelayanan maupun untuk pertumbuhan kerohanian kita. Kiranya Tuhan mendorong kita semua supaya lebih mencintai literatur tetapi yang terutama adalah mencintai firman Tuhan. Amin.