Show simple item record

dc.contributor.authorDawa, Markus Dominggus L.
dc.date.accessioned2018-05-07T07:59:28Z
dc.date.available2018-05-07T07:59:28Z
dc.date.copyright2005
dc.date.issued2005-04
dc.identifier.issn14417649
dc.identifier.urihttp://repository.seabs.ac.id/handle/123456789/84
dc.description.abstractBeberapa waktu yang lalu, saya menerima sebuah surat dari seorang kawan yang melayani sebuah jemaat Tionghoa di suatu kota di luar pulau Jawa. Surat itu berisi pertanyaan tentang perayaan tahun baru imlek di gereja. Kawan ini rupanya satu dari sekian banyak orang yang tidak setuju imlek dirayakan oleh orang-orang Kristen Tionghoa. Alasan yang dikemukakannya adalah karena perayaan imlek adalah “perayaan tahun baru Cina” dan pada waktu itu “masyarakat Tionghoa pergi ke vihara-vihara untuk bersembahyang kepada ‘dewa-dewa’ untuk meminta berkat.” Masih dalam lingkungan sinode yang sama dengan gereja kawan saya itu, ada gereja-gereja lain yang merayakan tahun baru imlek di gerejanya. Mereka rupanya terbilang di antara yang setuju imlek dirayakan oleh orang Kristen Tionghoa. Bahkan sampai diadakan kebaktian dan perayaan khusus untuk itu, lengkap dengan berbagai pernik dan atribut yang melekat pada imlek tersebut. Waktu ditanya mengapa mereka merayakannya, temanteman yang merayakan ini berpendapat bahwa imlek merupakan bagian integral dari tradisi budaya orang Tionghoa. Jadi entah orang itu Kristen atau bukan, imlek dapat dirayakan oleh setiap orang Tionghoa. Selain itu ada tujuan lain yang lebih utama yaitu untuk penginjilan. Kawan saya di atas mengirimi saya surat dengan maksud meminta pendapat saya soal perayaan ini. Tetapi, dalam tulisan ini saya tidak ingin masuk ke dalam perdebatan setuju atau tidak setuju tentang imlek. Bagi saya, pro-kontra di kalangan orang Kristen Tionghoa tentang perayaan imlek hanyalah puncak kecil dari sebuah gunung es persoalan yang lebih besar yang selama ini tidak ditangani dengan serius oleh Gereja-gereja Tionghoa sendiri. Persoalan ini bukan hanya dihadapi oleh orang-orang Tionghoa yang Kristen saja, tetapi juga dihadapi oleh semua orang Tionghoa lainnya di negeri ini. Persoalan itu adalah masalah identitas diri orang Tionghoa di Indonesia. Apakah yang membuat seseorang mengenal dan dikenal sebagai orang Tionghoa di negeri ini? Persoalan ini menjadi lebih rumit bagi orang Kristen Tionghoa karena tidak hanya berhadapan dengan konstruksi sosial, budaya dan politik masyarakat Indonesia yang sudah dikondisikan sedemikian rupa, khususnya oleh pemerintahan Orde Baru di masa lalu, sehingga menghasilkan suatu pandangan tersendiri terhadap orang Tionghoa; tetapi juga karena sebagai orang Kristen, ada suatu pandangan teologis tertentu yang mempengaruhi pandangan orang Tionghoa Kristen tentang dirinya sendiri dan khususnya tentang kebudayaan yang diakui berperan penting bagi pembentukan identitas suatu kelompok masyarakat. Saya tidak bermaksud memberikan solusi menyeluruh untuk persoalan ini. Apa yang hendak saya angkat di sini lebih untuk membuat kita paham bahwa ada persoalan berkaitan dengan jati diri ke-Tionghoa-an orang-orang Tionghoa di Indonesia, termasuk juga dengan jati diri ke-Tionghoa-an orangorang Kristen Tionghoa. Selain itu, saya hendak kupas juga apa yang selama ini sudah dilakukan oleh orang-orang Tionghoa di Indonesia dalam menghadapi persoalan ini dan bagaimana sebaiknya orang Tionghoa Kristen menghadapinya.en_US
dc.publisherSeminari Alkitab Asia Tenggaraen_US
dc.rights.urihttps://creativecommons.org/licenses/by-nc-nd/4.0/
dc.subjectChurch -- Indonesiaen_US
dc.subjectChinese -- Indonesia -- Religion.en_US
dc.subjectChinese -- Religion.en_US
dc.titleGereja Tionghoa dan Masalah Identitas Ke-Tionghoa-anen_US
dc.typeArticleen_US
dc.rights.holder2005 by Veritas: Jurnal Teologi dan Pelayanan. All rights reserved.


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record

https://creativecommons.org/licenses/by-nc-nd/4.0/
Except where otherwise noted, this item's license is described as https://creativecommons.org/licenses/by-nc-nd/4.0/