Show simple item record

dc.contributor.advisorElbers, Veronika Joanna.
dc.contributor.authorWijaya, William
dc.date.accessioned2019-08-22T09:15:28Z
dc.date.available2019-08-22T09:15:28Z
dc.date.issued2019
dc.identifier.urihttp://repository.seabs.ac.id/handle/123456789/642
dc.description.abstractKaum injili kerap kali dipandang tidak memiliki hati nurani terhadap lingkungan sekitar dan hanya mementingkan keselamatan individual. Tuduhan ini diperparah ketika injil sosial mulai muncul ke permukaan untuk menjawab kerinduan akan tanggungjawab sosial kekristenan dan menjadi lawan saing bagi kaum injili. Meskipun injil sosial memiliki pemahaman teologi yang tidak sepaham dengan kaum injili, namun reaksi dari kaum injili terhadap injil sosial terbilang cukup radikal dan mendapat pandangan negatif dari masyarakat awam maupun teolog-teolog. Melihat perseteruan yang berkepanjangan antara kaum injili dengan liberal, maka Billy Graham mempertemukan pemahaman antara penginjilan dan tanggungjawab sosial di dalam sebuah kongres injili internasional yang pertama pada tahun 1974. Kongres ini menjadi awal mula gerakan Lausanne di dalam membahas mengenai perkembangan pemahaman doktrin yang biblikal untuk memahami misi holistik. Namun pemahaman akan misi holistik yang dihasilkan melalui kongres Lausanne kurang terlihat terutama di Indonesia dan dalam lingkungan gereja-gereja Tionghoa. Meskipun kurang terlihat, seyogianya mereka telah melaksanakan misi holistik, namun tidak secara terang-terangan diketahui oleh publik. Hal ini dikarenakan gereja-gereja Tionghoa memiliki konflik etnis yang berkepanjangan di Indonesia dengan kaum pribumi semenjak kedatangan kompeni. Meskipun gereja-gereja Tionghoa tidak secara langsung mendapat pengaruh dari gerakan Lausanne, mereka secara konsisten melaksanakan misi holistik melalui perpanjangan tangan PGTI, yaitu buah dari kongres CCCOWE (buah dari kongres Lausanne I). Akan tetapi gereja-gereja Tionghoa tidak dapat berpuas diri begitu saja. Mereka perlu untuk menyesuaikan pemahaman misiologi mereka dengan perkembangan misiologi dari gerakan Lausanne. Gereja-gereja Tionghoa juga perlu untuk membuka diri terhadap kaum liberal untuk bersama belajar dan saling melengkapi dalam memahami misi holistik secara tepat. Semata-mata agar Kristus mendapat tempat di hati orang-orang yang belum percaya, bahkan di hati orang-orang yang terlibat di dalam konflik etnis yang berkepanjangan.en_US
dc.publisherSekolah Tinggi Teologi SAATen_US
dc.subjectMisi Holistiken_US
dc.subjectPenginjilanen_US
dc.subjectTanggungjawab Sosialen_US
dc.subjectGerakan Lausanneen_US
dc.subjectGereja Tionghoaen_US
dc.titleKonsep Misi Holistik Menurut Referensi Gerakan Lausanne Antara Penginjilan dan Tanggungjawab Sosial serta Implikasinya bagi Praksis Misi Gereja-gereja Injili Tionghoa di Indonesia.en_US
dc.typeThesisen_US


Files in this item

FilesSizeFormatView

There are no files associated with this item.

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record