Show simple item record

dc.contributor.authorTeng, Michael
dc.date.accessioned2018-05-30T02:21:19Z
dc.date.available2018-05-30T02:21:19Z
dc.date.issued2012-04
dc.identifier.issn1411-7649
dc.identifier.urihttp://repository.seabs.ac.id/handle/123456789/262
dc.description.abstractSalah satu bait dari lagu yang terkenal berjudul “God and God Alone” adalah: God and God alone reveals the truth of all we call unknown, And all the best and worst of man won’t change the Master’s plan, It’s God’s and God’s alone Jelas sekali terlihat nada dasar teologis dari syair ini adalah kedaulatan Allah yang nampak dalam pengetahuan-Nya tentang apa yang manusia tidak ketahui (the foreknowledge of God) dan ketidakberubahan Allah (the immutability of God). Para teolog menyebutnya dengan istilah teisme klasik (classical theism). Pandangan ini telah mendapat banyak serangan baik dari para teolog kontemporer maupun dari Injili. Dari kalangan Injili, Bloesch secara khusus membahas lima sarjana teologi dan filsafat agama yang sangat dihargai yang mengajukan sebuah alternatif terhadap teisme klasik. Mereka menyebut dirinya sebagai open view theists atau freewill theists; konsep mereka ini kemudian dikenal sebagai open theism. Buku mereka, The Openness of God, menjadi buku yang provokatif karena berbicara langsung kepada para sarjana Injili muda yang tidak “bahagia” dengan gambaran tradisional tentang Allah. Bahkan tulisan mereka ini juga mendapatkan tempat di gereja secara luas, karena sejak holocaust, memang sulit untuk mengafirmasi tentang Allah yang menggenggam dunia dalam tangan-Nya. Bagaimana mungkin Allah yang berdaulat dan Mahatahu itu memelihara manusia dengan membiarkan kejahatan dan penderitaan merajalela di bumi? Di mana letak kebebasan manusia di dalam kedaulatan Allah yang Mahatahu itu telah mengatur semuanya itu terjadi demikian? Lalu, bagaimana mungkin Allah yang tidak berubah itu dapat membuat doa menjadi ada artinya di dalam pergumulan yang kita alami? Mereka melihat teisme klasik mencoba melarikan diri dari permasalahan bagaimana membuat misteri dari Allah yang berdaulat dengan providensia-Nya itu bisa sejalan dengan afirmasi Alkitab tentang tanggung jawab dan kebebasan manusia. Sebaliknya, open theism dengan berani mencoba menjawab permasalahan ketegangan antara kedaulatan Allah dan kehendak bebas manusia. Bagi mereka, open theism adalah paradigma baru yang superior secara biblika, historis, teologis, filosofis dan praktis. Dari apa yang sudah dipaparkan, penulis melihat permasalahan ini perlu untuk dibahas lebih dalam mengingat hal ini menyangkut pemahaman mengenai natur Allah dan relasi-Nya dengan manusia. Melalui pembahasan ini, penulis berharap dapat memiliki pemahaman yang lebih komprehensif dalam memberi jawab terhadap permasalahan ketegangan antara kedaulatan Allah dan kehendak bebas manusia. Lebih lanjut, pemahaman ini akan sangat berguna dalam usaha memberi jawaban terhadap masalah kejahatan atau penderitaan dan fungsi doa. Untuk mencapai tujuan ini, maka pada bagian kedua, penulis akan memaparkan pandangan open theism, kemudian pada bagian ketiga akan memberikan tanggapan dari beberapa teolog Kristen lainnya sehingga pada akhirnya nanti kita dapat mengambil kesimpulan apakah pandangan ini merupakan sebuah jawaban mengenai realitas kejahatan/penderitaan dan fungsi doa.en_US
dc.publisherSeminari Alkitab Asia Tenggaraen_US
dc.subjectOpen theism.en_US
dc.subjectGod (Christianity)en_US
dc.subjectTheology, Doctrinal.en_US
dc.titleTinjauan Kritis terhadap Open Theism dari Perspektif Teologi Reformeden_US
dc.typeArticleen_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record