Show simple item record

dc.rights.licenseAttribution-NonCommercial-NoDerivs 4.0
dc.contributor.authorYang, Ferry
dc.date.accessioned2018-05-11T06:12:49Z
dc.date.available2018-05-11T06:12:49Z
dc.date.copyright2007
dc.date.issued2007-04
dc.identifier.issn14417649
dc.identifier.urihttp://repository.seabs.ac.id/handle/123456789/147
dc.description.abstractKetika saya masih anak-anak, saya selalu diajar untuk berekonsiliasi dengan siapapun saya berkonflik, entah dengan saudara, saudara sepupu, ataupun dengan teman. Orang tua saya, orang-orang yang dituakan, guru-guru, semua mengajarkan untuk berjabat tangan dengan siapapun saya berseteru, sebagai simbol rekonsiliasi, tanpa upaya mengejar kebenaran. Tujuan utamanya adalah untuk menghindari kerusakan yang lebih jauh dan untuk memelihara kedamaian. Di sisi lain, kebenaran hanya dikejar dengan tujuan keadilan, yang berarti yang bersalah dihukum. Akhirnya, saya bertumbuh dengan pengertian bahwa ada dua kemungkinan resolusi konflik: rekonsiliasi atau keadilan. Warisan budaya saya lebih mengetengahkan rekonsiliasi dibanding keadilan. Sebab di dalam rekonsiliasi hubungan dipelihara dan kita menghargai relasi lebih daripada kebenaran. Dalam hal ini, rekonsiliasi dipandang berada di luar keadilan.en_US
dc.publisherSeminari Alkitab Asia Tenggaraen_US
dc.rights.urihttps://creativecommons.org/licenses/by-nc-nd/4.0/
dc.subjectReconciliation -- Religious aspects -- Christianity.en_US
dc.titleRefleksi Teologis tentang Rekonsiliasi sebagai Tujuan Resolusi Konfliken_US
dc.typeArticleen_US
dc.rights.holder2007 by Veritas: Jurnal Teologi dan Pelayanan. All rights reserved.


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record

Attribution-NonCommercial-NoDerivs 4.0
Except where otherwise noted, this item's license is described as Attribution-NonCommercial-NoDerivs 4.0