Show simple item record

dc.rights.licenseAttribution-NonCommercial-NoDerivs 4.0
dc.contributor.authorLie, Bedjo
dc.date.accessioned2018-05-11T03:14:57Z
dc.date.available2018-05-11T03:14:57Z
dc.date.copyright2006
dc.date.issued2006-10
dc.identifier.issn14417649
dc.identifier.urihttp://repository.seabs.ac.id/handle/123456789/136
dc.description.abstractBanjir lumpur, gempa bumi, tsunami dan kemiskinan, mungkin itulah yang kita pikirkan ketika berbicara tentang penderitaan di Indonesia. Kita hidup dalam konteks bangsa yang sedang mengalami krisis multidimensi plus tertimpa banyak bencana baik yang alami maupun ”buatan.” Dalam kondisi seperti ini, terkadang kita tergoda untuk berpikir bahwa hidup di Indonesia sungguh tidak mengenakkan. Lalu pikiran kita menerawang dan berimajinasi untuk tinggal di negara-negara maju seperti Amerika Serikat atau Jepang dan berpikir bahwa kondisi di sana akan jauh lebih baik. Tetapi, pikiran demikian tentu tidak benar. Itu adalah mitos dan bukan fakta. Yang terjadi adalah penderitaan merupakan bagian dari umat manusia di manapun ia berada, di negara maju, maupun yang kurang maju, kecil maupun besar, komunis maupun kapitalis, beragama maupun sekuler. Hanya bentuk, tingkatan dan penyebabnya saja yang berbeda-beda. Penderitaan adalah fakta universal! Penderitaan juga melampaui horison waktu, ia ada dulu, sejak zaman dahulu kala sampai sekarang dan juga di masa mendatang. Penderitaan adalah fakta yang tidak hanya universal tetapi juga “seolah-olah” abadi. Justru karena itulah, berbicara mengenai penderitaan merupakan hal yang menarik, paling tidak bagi orang yang punya keprihatinan dan mau berkontemplasi tentang kehidupan. Sidharta Gautama (563-483 SM) adalah jenis orang seperti itu. Sebagai seorang guru, pendiri agama Buddha, ia adalah orang yang dianggap memiliki banyak hikmat dan kebijaksanaan. Akan tetapi jikalau kita memperhatikan pengajarannya yang utama, maka kita akan segera menemukan tema sentral penderitaan dalam pengajarannya. Kebenaran-kebenaran mengenai penderitaan ini terangkum dalam pengajarannya yang disebut Empat Kebenaran Mulia (Four Noble Truths). Dalam tulisan ini, kita akan memberikan tinjauan kritis atas pengajaran Buddha tentang penderitaan yang terdapat dalam Empat Kebenaran Mulia. Oleh karena itu, maka tulisan ini akan mengalir sebagai berikut. Pertama, sejarah singkat kehidupan Buddha sampai dengan masa ia mengalami pencerahan. Hal ini penting untuk menyediakan konteks lahirnya pemikiran Buddha tentang penderitaan. Kedua, pemaparan mengenai konsep penderitaan dalam Empat Kebenaran Mulia. Selanjutnya, tinjauan kritis atas konsep Empat Kebenaran Mulia tersebut dari sudut pandang Kristen. Terakhir, sebuah kesimpulan dan aplikasi.en_US
dc.publisherSeminari Alkitab Asia Tenggaraen_US
dc.rights.urihttps://creativecommons.org/licenses/by-nc-nd/4.0/
dc.subjectSuffering -- Religious aspects -- Buddhism.en_US
dc.subjectChristianity and other religions -- Buddhism.en_US
dc.titlePenderitaan menurut Agama Buddha : Sebuah Tinjauan Kritis dari Perspektif Kristenen_US
dc.typeArticleen_US
dc.rights.holder2006 by Veritas: Jurnal Teologi dan Pelayanan. All rights reserved.


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record

Attribution-NonCommercial-NoDerivs 4.0
Except where otherwise noted, this item's license is described as Attribution-NonCommercial-NoDerivs 4.0