Show simple item record

dc.contributor.authorWinarjo, Hendra
dc.date.accessioned2021-03-09T01:38:32Z
dc.date.available2021-03-09T01:38:32Z
dc.date.issued2021
dc.identifier.urihttp://repository.seabs.ac.id/handle/123456789/1059
dc.description.abstractMenjadi orang yang baik dan bermoral sering kali adalah sebuah tuntutan sekaligus dambaan bagi banyak orang. Menariknya, menjadi orang baik dan bermoral tidak hanya didambakan oleh orang-orang yang menganut kepercayaan teistik seperti iman Kristen saja, melainkan juga oleh mereka yang menganut kepercayaan non-teistik seperti ateisme dan agnostisisme. Namun, apakah benar bahwa seseorang dapat menjadi baik dan bermoral tanpa keberadaan Allah? Jika pertanyaan ini ditanyakan kepada kekristenan, maka jawaban umumnya adalah tidak dapat. Manusia tidak dapat menjadi orang baik dan bermoral tanpa Allah. Hal ini dikarenakan objektivitas dan fondasi moral membutuhkan keberadaan Allah. Gagasan tersebut dapat terlihat pada teori perintah ilahi (divine command theory) yang menjadi salah satu teori moral atau etika Kristen. Di sisi lain, jika pertanyaan di atas ditanyakan kepada Paul Kurtz, seorang filsuf humanisme sekuler, maka jawabannya adalah manusia dapat menjadi orang baik dan bermoral tanpa Allah. Menurut Kurtz, “Morality and moral behavior do not depend on divine commandments.” Mirisnya, dewasa ini ada banyak orang yang setuju dengan pandangan Kurtz tersebut.6Persetujuan dari banyak orang ini tentu tidak dapat dilepaskan dari pengaruh tokoh-tokoh ateis yang mengkritik teori perintah ilahi dan juga berkembangnya teori moral ateisme dengan pendekatan humanisme (disebut juga teori moral ateisme-humanisme) di dalam beberapa dekade terakhir ini. Misalnya, Kurtz dengan pendekatan humanisme sekulernya dan Sam Harris, seorang ahli saraf (neuroscientist) ateis yang menegaskan bahwa sains dapat membantu manusia untuk mengetahui perbuatan moral sehingga ia dapat melakukannya dan menjadi bermoral tanpa membutuhkan keberadaan Allah. Melihat polemik di antara iman Kristen dan ateisme mengenai dibutuhkan atau tidaknya keberadaan Allah bagi objektivitas dan fondasi moral, maka melalui tulisan ini penulis akan membandingkan teori moral yang dianut oleh kedua kubu tersebut. Namun, penulis membatasi hanya akan mendeskripsikan teori moral ateisme-humanisme. Menurut hemat penulis, teori moral ateisme-humanisme bermasalah karena tidak dapat memberi alasan yang masuk akal dan koheren bagi semua orang untuk dapat menjadi orang yang baik dan bermoral tanpa Allah. Di sisi lain, teori perintah ilahi, yakni teori etika Kristen yang berpusat pada perintah Allah, dapat memberi alasan yang masuk akal dan koheren bagi semua orang untuk dapat menjadi orang yang baik tanpa Allah. Pertama, penulis akan mendeskripsikan apa itu teori moral ateisme-humanisme dan duduk perkaranya. Pembahasan kemudian dilanjutkan dengan pembelaan teori perintah ilahi terhadap masalah moral tersebut. Akhirnya, artikel ini akan ditutup dengan kesimpulan oleh penulis.en_US
dc.publisherConsilum 22en_US
dc.subjectChristian ethics.en_US
dc.subjectReligion and ethics.en_US
dc.titleCan We be Good Without God : Sebuah Pembelaan dari Teori Perintah Ilahien_US
dc.typeArticleen_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record