Show simple item record

dc.contributor.authorJermias, Gabriel Angelia
dc.date.accessioned2021-03-08T09:05:05Z
dc.date.available2021-03-08T09:05:05Z
dc.date.issued2021
dc.identifier.urihttp://repository.seabs.ac.id/handle/123456789/1055
dc.description.abstractPada abad 21 ini, sudah banyak dikumandangkan kebijakan hukum yang membahas mengenai hak asasi manusia khususnya yang berkaitan tentang penganiayaan manusia. Tetapi penganiayaan manusia menjadi berbeda ketika dikaitkan dengan orang Kristen. Penganiayaan terhadap orang Kristen sudah dirasakan oleh para nabi dalam Perjanjian Lama, para rasul dan jemaat mula-mula di Perjanjian Baru, serta banyak orang Kristen masa kini yang masih mengalami penderitaan akibat penganiayaan. Penderitaan tidak selalu dialami atau terjadi dari hal-hal eksternal, tetapi bisa juga terjadi dari hal-hal internal seperti penderitaan batin yang dialami oleh Ayub dalam Perjanjian Lama. Saking menderitanya, sampai-sampai Ayub berkali-kali mengatakan kalau ia ingin berada dalam dunia orang mati saja (Ayb 7:9-10; 14:13; 17:13, 16). Ia merasa hidupnya tidak berguna dan tekanan akan penderitaan itu terus-menerus terjadi dalam hidupnya. Tetapi dalam kisahnya, Ayub tetap berpegang pada imannya terhadap Allah (Ayb 13:5; 19:25; 23:10-14). Dalam salah satu bukunya yang membahas mengenai penderitaan, Timothy Keller memberikan sebuah pernyataan yang baik. Ia mengatakan demikian: “Setiap penderitaan pada dasarnya unik. Itu artinya setiap penderita perlu menemukan jalan keluar yang berbeda untuk melaluinya.” Namun di masa kini pun, di dunia luar masih banyak sekali orang Kristen yang dianiaya bahkan ada yang sampai mati martir oleh karena iman mereka kepada Kristus. Misalnya saja di Korea Utara, negara yang hanya boleh menyembah atau mengidolakan Kim Jong Un dan keluarga kerajaan saja serta tidak boleh ada agama di sana. Bahkan orang-orang Kristen yang ada di sana harus menutupi identitasnya sebagai Kristen oleh karena tekanan yang mereka dapati dari pemerintah setempat. Tetapi hal ini terjadi tidak hanya di luar negeri saja, di Indonesia sendiri pun juga terdapat kasus penganiayaan terhadap orang Kristen atau penderitaan yang harus dialami oleh orang-orang Kristen. Mungkin sampai sebelum pandemi, ibadah yang dilakukan di gereja-gereja bisa berjalan dengan baik dan tenang tanpa ada ketakutan atau keresahan yang dialami oleh jemaat karena ada ancaman dari sekitar area gereja. Namun, ada gereja-gereja yang malah menerima ancaman dari warga sekitar, misalnya pada bulan Mei tahun 2018 yang lalu, sempat terjadi pengeboman terhadap tiga gereja di Surabaya yang menyebabkan 18 orang meninggal dunia, dan banyak korban lainnya yang terkena luka bakar berat maupun ringan. Sebagai orang Kristen, berarti bukan hanya bisa mendapat kenyamanan dalam beribadah namun juga bisa menjadi ancaman bagi diri sendiri untuk menderita dalam penganiayaan oleh karena iman yang dipertahankan. Maka dari itu, inilah yang menjadi ketertarikan penulis untuk mengulas dalam makalah ini bagaimana orang Kristen dapat hidup berpengharapan di tengah penderitaan ditinjau dari 1 Petrus 1:3-12. Dalam makalah ini, penulis akan memaparkan mengenai tiga hal. Pertama, mengenai konteks atau latar belakang historis pada masa itu dan penerima surat ini, yaitu kepada jemaat yang tersebar di Asia kecil. Lalu, penulis akan membahas perikop ini dengan pembahasan literer. Terakhir, penulis akan menyampaikan implikasi apa saja yang dapat diterapkan dalam kehidupan orang-orang Kristen pada masa kini.en_US
dc.publisherConsilum 22en_US
dc.subjectSuffering -- Biblical teaching.
dc.subjectHope -- Biblical teaching.
dc.titlePanggilan Untuk Hidup Berpengharapan di Tengah Penderitaan : Sebuah Kajian Teologis Terhadap Surat 1 Petrus 1:3-12en_US
dc.typeArticleen_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record