Veritas 06/1 (April 2005)http://repository.seabs.ac.id/handle/123456789/782024-03-29T16:03:23Z2024-03-29T16:03:23ZNama Ilahi dalam Alkitab: Diskusi mengenai Allah, ‘elôhîm, théos, TUHAN, YHWH, Tuhan, ‘adônaî, kúriosHauw, Andreashttp://repository.seabs.ac.id/handle/123456789/1732018-05-14T06:53:22Z2005-04-01T00:00:00ZNama Ilahi dalam Alkitab: Diskusi mengenai Allah, ‘elôhîm, théos, TUHAN, YHWH, Tuhan, ‘adônaî, kúrios
Hauw, Andreas
Ada sementara kalangan, baik Kristen maupun non-Kristen, tidak menghendaki dipakainya kata Allah dalam Alkitab. Dari kalangan Kristen ada yang mengusulkan agar kata Allah diganti saja dengan ‘elôhîm dan TUHAN dengan Yahweh. Namun, jika kita bertanya kepada orang banyak, apakah mereka mengenal istilah ‘elôhîm atau Yahweh, maka dapat diperkirakan hanya sebagian kecil saja yang mengenalnya, sekalipun hal itu ditanyakan pada orang Kristen. Sebaliknya, ada banyak orang yang akan mengetahui istilah Allah dan TUHAN (juga Tuhan), walaupun definisi yang diberikan sangat sederhana.
Fokus utama pembahasan adalah nama Allah dan ‘elôhîm, kemudian dimana perlu akan dibahas kata TUHAN, Tuhan, Yahweh, théos, kúrios, dlsb. Karena letak permasalahan ada pada kata Allah dan ‘elôhîm, maka bagian berikutnya akan membahas perluasan makna dari nama Allah serta pemakaiannya (Linguistik). Bagian akhir menyoroti dan menilai bagaimana usulan perubahan nama itu dilihat dalam tradisi penerjemahan Alkitab.
2005-04-01T00:00:00ZKristologi Kitab WahyuSantoso, David Imanhttp://repository.seabs.ac.id/handle/123456789/1642019-01-03T05:02:11Z2005-04-01T00:00:00ZKristologi Kitab Wahyu
Santoso, David Iman
Kitab Wahyu ditulis adalah untuk menghibur dan menguatkan orang Kristen dan gereja pada waktu itu, yang mengalami banyak kekecewaan, penderitaan dan penganiayaan di bawah pemerintahan Romawi. Kitab ini ditulis agar mereka membaca dan menjadi tabah dan tetap bertahan menghadapi segala penderitaan, tetap setia dan berpegang teguh pada iman mereka, serta selalu berharap dan memandang pada Kristus yang adalah Anak Domba Allah yang menang, sebab orang Kristen dan gereja pada waktu mengalami banyak penganiayaan di bawah pemerintahan Romawi, bahkan banyak yang mati syahid (6:9-11; 7:14.) Oleh sebab itu dalam kitab Wahyu ini ajaran tentang person Kristus sangat ditonjolkan, yang sering kali digambarkan penuh dengan kemenangan dan kemuliaan. Kristus sebagai Anak Domba Allah, sebagai Alfa dan Omega di dalam banyak hal bahkan dikisahkan setara dengan Allah. Rasul Yohanes bisa menulis semuanya ini karena memang Kristus menyatakan diri-Nya dan memberikan visi-Nya kepadanya. Dr. Walvoord mengatakan bahwa tujuan penulisa kitab Wahyu adalah “to reveal Jesus Christ as the glorified One in contrast to the Christ of the Gospels, who was seen in humiliation and suffering.” Oleh sebab itu dalam tulisan ini kami berusaha untuk memaparkan person Kristus yang begitu berkuasa dan mulia, namun yang juga begitu peduli dan memperhatikan gereja-Nya. Dan kemuliaan Kristus itu pada akhirnya akan dinyatakan sepenuhnya dalam parousia, suatu pengharapan yang terakhir dan yang selalu dinantikan oleh setiap orang yang percaya. Bagi kami, gereja dan orang Kristen di Indonesia hari ini perlu sekali banyak membaca dan merenungkan kitab Wahyu.
2005-04-01T00:00:00ZUjian Tokoh Bileam (Bilangan 22:7-12; 23:1-6; 31:8)Gunadi, Paulhttp://repository.seabs.ac.id/handle/123456789/852019-01-05T01:58:54Z2005-04-01T00:00:00ZUjian Tokoh Bileam (Bilangan 22:7-12; 23:1-6; 31:8)
Gunadi, Paul
Naskah Khotbah
2005-04-01T00:00:00ZGereja Tionghoa dan Masalah Identitas Ke-Tionghoa-anDawa, Markus Dominggus L.http://repository.seabs.ac.id/handle/123456789/842019-01-05T01:58:16Z2005-04-01T00:00:00ZGereja Tionghoa dan Masalah Identitas Ke-Tionghoa-an
Dawa, Markus Dominggus L.
Beberapa waktu yang lalu, saya menerima sebuah surat dari seorang kawan yang melayani sebuah jemaat Tionghoa di suatu kota di luar pulau Jawa. Surat itu berisi pertanyaan tentang perayaan tahun baru imlek di gereja. Kawan ini rupanya satu dari sekian banyak orang yang tidak setuju imlek dirayakan oleh orang-orang Kristen Tionghoa. Alasan yang dikemukakannya adalah karena perayaan imlek adalah “perayaan tahun baru Cina” dan pada waktu itu “masyarakat Tionghoa pergi ke vihara-vihara untuk bersembahyang kepada ‘dewa-dewa’ untuk meminta berkat.” Masih dalam lingkungan sinode yang sama dengan gereja kawan saya itu, ada gereja-gereja lain yang merayakan tahun baru imlek di gerejanya. Mereka rupanya terbilang di antara yang setuju imlek dirayakan oleh orang Kristen Tionghoa. Bahkan sampai diadakan kebaktian dan perayaan khusus untuk itu, lengkap dengan berbagai pernik dan atribut yang melekat pada imlek tersebut. Waktu ditanya mengapa mereka merayakannya, temanteman yang merayakan ini berpendapat bahwa imlek merupakan bagian integral dari tradisi budaya orang Tionghoa. Jadi entah orang itu Kristen atau bukan, imlek dapat dirayakan oleh setiap orang Tionghoa. Selain itu ada tujuan lain yang lebih utama yaitu untuk penginjilan. Kawan saya di atas mengirimi saya surat dengan maksud meminta pendapat saya soal perayaan ini. Tetapi, dalam tulisan ini saya tidak ingin masuk ke dalam perdebatan setuju atau tidak setuju tentang imlek. Bagi saya, pro-kontra di kalangan orang Kristen Tionghoa tentang perayaan imlek hanyalah puncak kecil dari sebuah gunung es persoalan yang lebih besar yang selama ini tidak ditangani dengan serius oleh Gereja-gereja Tionghoa sendiri. Persoalan ini bukan hanya dihadapi oleh orang-orang Tionghoa yang Kristen saja, tetapi juga dihadapi oleh semua orang Tionghoa lainnya di negeri ini. Persoalan itu adalah masalah identitas diri orang Tionghoa di Indonesia. Apakah yang membuat seseorang mengenal dan dikenal sebagai orang Tionghoa di negeri ini? Persoalan ini menjadi lebih rumit bagi orang Kristen Tionghoa karena tidak hanya berhadapan dengan konstruksi sosial, budaya dan politik masyarakat Indonesia yang sudah dikondisikan sedemikian rupa, khususnya oleh pemerintahan Orde Baru di masa lalu, sehingga menghasilkan suatu pandangan tersendiri terhadap orang Tionghoa; tetapi juga karena sebagai orang Kristen, ada suatu pandangan teologis tertentu yang mempengaruhi pandangan orang Tionghoa Kristen tentang dirinya sendiri dan khususnya tentang kebudayaan yang diakui berperan penting bagi pembentukan identitas suatu kelompok masyarakat. Saya tidak bermaksud memberikan solusi menyeluruh untuk persoalan ini. Apa yang hendak saya angkat di sini lebih untuk membuat kita paham bahwa ada persoalan berkaitan dengan jati diri ke-Tionghoa-an orang-orang Tionghoa di Indonesia, termasuk juga dengan jati diri ke-Tionghoa-an orangorang Kristen Tionghoa. Selain itu, saya hendak kupas juga apa yang selama ini sudah dilakukan oleh orang-orang Tionghoa di Indonesia dalam menghadapi persoalan ini dan bagaimana sebaiknya orang Tionghoa Kristen menghadapinya.
2005-04-01T00:00:00Z