VERITAS  2/2 (Oktober 2000) 159-175


 

MEMAHAMI ULANG KONTEKS BERTEOLOGI JOHN CALVIN DALAM DOKTRIN PREDESTINASI

KALVIN S. BUDIMAN

 

Besides, in the very darkness that frightens them not only is the usefulness of this doctrine made known but also its very sweet fruit.  We shall never be clearly persuaded, as we ought to be, that our salvation flows from the wellspring of God’s free mercy ....  How much the ignorance of this principle detracts from God’s glory, how much it takes away from true humility, is well know.[1]

 

Now, all this—“the greatest part of the world unto perdition,” and “by His own pure and mere will”—is a perfect fiction, and a production from the workshop of your own brain.  For although God did certainly decree from the beginning everything which should befall the race of man, yet such a manner of speech as the saying that the end or object of God’s work of creation was destruction or perdition, is nowhere to be found in my writings .... If you did wish thus fiercely to gnaw my doctrine, why did you not, at least, cite my words honestly?[2]

PENDAHULUAN

Artikel ini tidak bermaksud secara langsung dan detail menguraikan doktrin predestinasi, atau bahkan menjawab serangkaian pertanyaan rumit yang sering kali muncul seputar doktrin ini.  Artikel ini lebih merupakan suatu usaha untuk memahami kembali kerangka dasar atau konteks doktrin predestinasi sebagaimana diajarkan oleh John Calvin.  Hal ini perlu kita lakukan karena sebagaimana tampak di dalam dua kutipan di atas, di satu pihak Calvin percaya bahwa doktrin predestinasi memberikan manfaat yang tidak sedikit dalam kehidupan orang percaya, namun di lain pihak, seperti ditunjukkan dalam kutipan kedua, sejak awal ia sendiri telah menyadari banyaknya orang yang akan menyimpangkan ajarannya tentang predestinasi.  [p. 160] Penyimpangan-penyimpangan tersebut, sebagaimana dikatakan oleh Henry Cole, telah mengakibatkan bukan saja orang yang mempelajari doktrin predestinasi Calvin tidak dari sumber aslinya menjadi salah mengerti, tetapi juga kehilangan religious spirit sebenarnya yang membangun.[3]  Hal ini dapat terjadi karena doktrin predestinasi Calvin sering kali hanya dibicarakan secara terpotong-potong, lepas dari konteksnya.

Studi ini juga didorong oleh adanya realita perubahan radikal di dalam Institutes edisi terakhir (1559)—setelah dua edisi sebelumnya di tahun 1536 dan 1539—di mana Calvin memisahkan pembahasan doktrin predestinasi dari providensi, dengan menempatkan kembali doktrin providensi di akhir pembicaraan tentang doktrin Allah.  Sedangkan doktrin predestinasi ia letakkan di tengah-tengah pembahasan tentang keselamatan (soteriologi); atau tepatnya, sesudah ia membicarakan tentang iman, pembenaran, dan doa, serta sebelum topik kebangkitan.  Hal ini tentunya menyiratkan makna yang tidak kecil tentang konteks predestinasi Calvin yang perlu kita pelajari lebih lanjut.

Calvin memang bukan orang pertama dan satu-satunya yang mencetuskan doktrin predestinasi.  Dalam tulisan-tulisannya ia banyak memakai argumentasi Agustinus untuk menjelaskan beberapa problema predestinasi.  Namun bila kemudian doktrin ini sering kali diidentikkan dengan Calvin, tidak lain karena di dalam pemikirannya, paham predestinasi memperoleh pengupasan secara lebih komprehensif dan utuh.[4]  Di samping itu, ia adalah tokoh yang paling gigih mengajarkan dan membela kebenaran doktrin ini, lebih dari siapapun, bahkan teolog-teolog di masa kita sekarang.[5]  Kedua alasan yang saling melengkapi ini, membuat saya menyadari adanya prinsip-prinsip penting yang perlu kita pelajari dari kedalaman pemikiran Calvin untuk dapat memahami wahyu Allah tentang predestinasi.[6]  Pernyataan ini jelas tidak bertendensi untuk mengatakan bahwa sumber kebenaran doktrin predestinasi adalah seorang manusia yang bernama John Calvin.  Sebaliknya, saya bermaksud mengajak para pembaca untuk menyelami kedalaman hikmat Allah yang telah diwahyukan di dalam Alkitab, melalui pergumulan salah seorang hamba-Nya yang pernah Tuhan pakai dalam sejarah utama kekristenan. [p. 161]

Barangkali prinsip awal dan pertama yang kita bisa pelajari dari Calvin adalah sikapnya terhadap wahyu Allah di dalam Alkitab yang percaya sepenuhnya dan apa adanya.  Sikap ini memberikan dua dampak: pertama, ia berani masuk ke kedalaman firman Tuhan dan mengajarkannya, bahkan hal-hal yang tampaknya kontroversial, dengan suatu keyakinan bahwa baginya tidak ada hal yang Allah wahyukan yang sifatnya sia-sia.  Termasuk tentunya di dalam konteks pembicaraan kita, yaitu kebenaran predestinasi.  Ia meyakini sepenuhnya bahwa Allah dan firman-Nya adalah sumber kebenaran doktrin ini.  Ia mengatakan, “I can declare with all truth that I should never have spoken on this subject, unless the Word of God had led the way, . . . .”[7]  Kedua, ia bukan saja dengan penuh rasa hormat kepada Allah berani mengajarkan doktrin predestinasi secara jujur, namun juga sekaligus secara berhati-hati ia berusaha untuk tidak melampaui apa yang Alkitab katakan sehingga tidak jatuh ke dalam spekulasi metafisika.  Di bagian pendahuluan pembahasan tentang predestinasi di dalam Institutes, ia memberikan catatan berikut:

Let us, I say, permit the Christian man to open his mind and ears to every utterance of God directed to him, provided it be with such restraint that when the Lord closes his holy lips, he also shall at once close the way to inquiry.  The best limit of sobriety for us will be not only to follow God’s lead always in learning but, when he sets an end to teaching, to stop trying to be wise.[8]

 Walaupun menelusuri sejarah pemikiran Calvin untuk mendapatkan fakta yang sepenuhnya objektif—mewakili sepenuhnya karangka pemikiran Calvin—adalah hal yang hampir mustahil, namun saya berangkat dari keyakinan sebagaimana dikatakan oleh Richard Muller, “... Calvin’s text itself and the express statements that Calvin made about the nature, content, method and arrangement of his work are still available for us to examine.  And where there is text, there is hope.[9]  Itu sebabnya melalui tulisan yang tidak terlalu panjang ini, saya berharap cukup untuk memberikan kerangka dasar pemikiran Calvin tentang predestinasi, melalui penelusuran secara historis dan teologis terhadap tulisan-tulisan Calvin, khususnya Institutes.[10]

Tulisan ini dibagi ke dalam dalam dua bagian.  Bagian pertama membahas tentang konteks pemahaman doktrin predestinasi Calvin dengan melihat pada perkembangan tulisan-tulisannya guna melihat kerangka atau pola dasar pemikirannya tentang predestinasi.  Bagian kedua merupakan aplikasi pemahaman bagian pertama di dalam membaca tulisan Calvin tentang predestinasi dalam relevansinya dengan konteks yang ia maksud.

SURVEI HISTORIS DAN TEOLOGIS POLA DASAR PEMIKIRAN PREDESTINASI CALVIN

Doktrin predestinasi bukanlah doktrin yang ditulis oleh Calvin dalam suasana yang “aman dan tentram.”  Doktrin ini mengalami proses perkembangan hingga menjadi benar-benar matang di dalam tulisan-tulisannya, khususnya Institutes edisi 1559, setelah melalui berbagai macam perlawanan dari pihak-pihak yang secara frontal berlawanan dengannya.  Perlawanan dari teolog Roma Katolik, Albertus Pighius, pada tahun 1543, mendorong Calvin untuk menulis The Bondage and Liberation of the Will: A Defense of the Orthodox Doctrine of Human Choice against Pighius,[11] guna menolak konsep Pighius yang terlalu menekankan kebebasan manusia.  Dua tahun kemudian, yaitu tahun 1545, Calvin menulis Treatises Against the Anabaptists and Against the Libertines,[12] sebagai jawaban terhadap kelompok Libertines yang menolak dosa asal.  Tahun 1552 ia menulis Concerning the Eternal Predestination of God,[13] yang isinya bukan saja menjawab Georgius the Sicily, tetapi ia juga sekali lagi mengarahkan jawabannya kepada Pighius dalam kaitannya dengan problema prapengetahuan Allah dan, lagi-lagi, kebebasan manusia. 

Di samping karya di atas masih banyak tulisan Calvin lainnya di mana hampir semuanya ditulis dalam suasana “pembelaan iman.”  Ia juga banyak dibantu oleh murid dan asistennya yang setia, Theodore Beza, dalam menegakkan kebenaran predestinasi, khususnya ketika ia terlibat di dalam perdebatan yang memakan waktu lama dengan Jerome Bolsec (1551-1555), menyangkut kekekalan, prapengetahuan Allah, dan iman.[14] 

Dalam seluruh rangkaian perdebatan ini, Calvin tetap berpegang teguh kepada tradisi monergisme Agustinian, sementara kebanyakan lawan-lawannya [p. 163] mengekspresikan pola teologi sinergisme yang mana merupakan sasaran utama penolakan para tokoh Reformasi.  Tradisi monergisme Agustinian menekankan keselamatan yang sepenuhnya berdasarkan anugerah Allah, sedangkan tradisi sinergisme mendasarkan keselamatan kepada pengetahuan Allah sebelumnya (divine foreknowledge) dan usaha iman dari manusia.

Pergumulan Calvin di atas, dan tulisan-tulisannya yang lain, sudah tentu banyak mempengaruhi tulisannya tentang predestinasi, terutama tafsirannya terhadap kitab Roma yang disebut-sebut paling banyak mempengaruhi Calvin dalam menulis Institutes edisi terakhir (1559).[15]  Mulai edisi pertama, 1536, hingga yang terakhir, 1559, Institutes mengalami perkembangan yang tidak sedikit, namun bukan dalam arti adanya pergeseran posisi atau pengubahan isi yang mendasar dari waktu ke waktu; melainkan usahanya untuk terus menambahkan pokok-pokok ajaran yang ia anggap penting.  Sebuah fakta yang mengherankan ialah ketika memberikan tambahan-tambahan, secara prinsip ia senantiasa konsisten dengan apa yang telah diajarkan sebelumnya.  Beza, rekan dan penerusnya, menyaksikan: “In the doctrine which he taught at the beginning, he remained firm to the end.”[16]

Ketika Calvin menulis Institutes pada tahun 1536, doktrin predestinasi belum memperoleh pembahasan secara khusus.  Di dalam enam bab tulisannya ini, paham predestinasi ia sisipkan di dalam pembahasan tentang “turun ke dalam kerajaan maut” dari pengakuan iman rasuli dan penjelasan tentang hakikat gereja.  Di dalam penjelasan kalimat yang berdasarkan 1 Petrus 3:19 tersebut—yang ia mengerti bukan secara harafiah, melainkan sebagai manifestasi kuasa penebusan Kristus kepada mereka yang telah mati pada zaman sebelum Kristus tersebut—ia menyisipkan prinsip perbedaan dampak penebusan Kristus kepada “believers” dan “the reprobate.”  Tepatnya Calvin mengatakan:

For the believers who has always awaited their salvation from him, at that time plainly and face to face perceived his visitation.  On the other hand, the reprobate, comprehending too late that Christ was their sole salvation, from which they had been excluded, then more plainly recognized that no hope remained to them.[17]

Sedangkan di dalam pembahasan tentang gereja, pengertian predestinasi mendominasi penjelasannya tentang hakikat gereja.  Berdasarkan Efesus 1:4, misalnya, ia mendefinisikan gereja sejati sebagai “they have been chosen [p. 164] in him before the foundation of the world, in order that all might be gathered in God’s Kingdom.”[18]  Gereja adalah universal karena orang-orang percaya di dalamnya dipilih dan dipersatukan di dalam Kristus (Ef. 1:22-23).[19]  Hakikat gereja adalah kudus karena “as many as have been chosen by God’s eternal providence to be adopted as members of the church—all these are made holy by the Lord (Yoh. 17:17-19).[20]

Dari semua contoh di atas jelas bahwa Calvin senantiasa berusaha untuk tidak melepaskan predestinasi dalam sangkut pautnya dengan landasan bagi identitas umat tebusan Kristus.  Pada tahun 1539, ketika Institutes bertambah menjadi 17 bab, satu hal yang tetap konsisten adalah bahwa konteks praktis, eklesiologis dan soteriologis, terus mewarnai pembicaraan tentang predestinasi.  Namun di dalam edisi ini ia juga telah membahas predestinasi secara lebih luas sebagai penjelasan ontologis tentang kedaulatan Allah terhadap ciptaan-Nya, dengan tambahan konsep tentang providensi Allah.

Barangkali progresivitas yang paling radikal adalah di dalam edisi terakhir, tahun 1559, ketika Institutes menjadi lima kali lebih panjang dibanding edisi pertama, dan dibagi ke dalam empat “buku,” masing-masing dengan topik utama, yaitu: The Knowledge of God the Creator, the Knowledge of God the Redeemer, the Receiving of the Grace of Christ, dan the Holy Catholic Church.  Di dalam edisi ini, Calvin bukan saja memberi tempat untuk pembahasan tentang predestinasi secara khusus dan panjang (empat bab), namun ia juga memisahkan pembicaraan predestinasi dari providensi.  Jika providensi ditempatkan di akhir pembahasan tentang doktrin Allah (I.xvi-xviii), maka Calvin meletakkan predestinasi di dalam konteks pembahasan soteriologi, di bawah topik besar “The Receiving of the Grace of Christ,” atau tepatnya, sesudah pembicaraan tentang iman, pembenaran, dan doa (III.xxi-xxiv). 

Dampak pemisahan ini, sekali lagi, bukan karena adanya perubahan konsep teologis di dalam diri Calvin, dalam arti terhadap masing-masing konsep, yaitu providensi dan predestinasi.  Bukan pula pemisahan di dalam arti pembedaan secara tajam antara providensi dan predestinasi—di dalam kenyataannya, ketika menjelaskan providensi ia sering mengutip sebagian dari predestinasi, demikian pula sebaliknya.[21] 

Pemisahan tersebut dilakukan karena ia lebih memilih pendekatan ordo cognoscendi (urutan [p. 165] secara logis atau mana yang harus diketahui terlebih dahulu) di dalam memahami predestinasi, ketimbang ordo essendi (urutan secara esensi atau ontologis).[22]  Pola semacam ini tampaknya cukup berhasil membuat Calvin menjauhkan diri dari pembahasan spekulasi metafisika dan determinisme, dan sebaliknya, mendekatkan diri kepada pemahaman tentang predestinasi yang lebih menampung relevansi rohani secara praktis, khususnya dengan jaminan keselamatan orang percaya.

Di dalam tulisan Calvin, secara esensial isi predestinasi sebenarnya memang tidak berbeda baik itu dipahami secara ordo cognoscendi atau ordo essendi.  Secara wajar sebenarnya predestinasi memang mengikuti doktrin Allah, karena predestinasi adalah salah satu activity atau predicate of God.[23]  Namun demikian, dampak yang ditimbulkan dari pendekatan ordo cognoscendi ialah, Calvin mengharapkan bahwa pemahaman tentang predestinasi tidak muncul melalui penyelidikan langsung dan secara rasional terhadap ketetapan-ketetapan kekal Allah atau hakikat Allah, melainkan ia muncul di dalam dan melalui pergumulan iman terhadap tanda-tanda keselamatan yang dialami secara nyata oleh orang-orang percaya.  Artinya, ketika orang percaya menyelidiki keselamatan yang terjadi di dalam dirinya (panggilan, pertobatan, iman, dan sebagainya), mestinya hal itu akan membawanya kepada pengakuan dan penerimaan anugerah pemilihan Allah.  Dari situlah pemahaman tentang pemilihan Allah itu akan terstruktur di dalam batasan wahyu Allah.  Dengan demikian, predestinasi bisa dipahami sebagai pengetahuan yang berasal dari perenungan terhadap apa yang Tuhan perbuat dalam diri kita (a posteriori).

Secara praktis, prinsip di atas dapat dibahasakan sebagai berikut: ketika kita mencoba untuk memahami predestinasi dengan berangkat secara deduktif dari a priori semacam ini: “Kehendak Allah adalah penyebab segala sesuatu,” akan menjadi lebih sulit dan tak terselami daripada jika kita mencoba untuk memahami predestinasi dengan berangkat dari pertanyaan seperti: “Mengapa Tuhan mau mengampuni dosaku?  Mengapa Yesus Kristus mau mati untukku?”  Perhatikan apa yang Calvin katakan di dalam Institutes edisi 1559, setelah ia menempatkan predestinasi di dalam konteks soteriologi: “. . . when seeking the certainty of our election, we cling to those latter signs which are sure attestations of it.”[24]  Kemudian ia melanjutkan dengan kalimat berikut:

... when mere man attempts to break into the inner recesses of divine wisdom, and tries to penetrate even to highest eternity, in order to find out what decision has been made concerning himself at God’s judgment seat.  [p. 166] For then he casts himself into the depths of a bottomless whirlpool to be swallowed up; then he tangles himself in innumerable and inextricable snares; then he buries himself in an abyss of sightless darkness.[25]

Di dalam pola pendekatan ordo cognescendi, yang Calvin kehendaki ialah paham predestinasi itu muncul melalui pemahaman terhadap aspek-aspek penebusan di dalam diri orang percaya.  Begitu pemilihan itu telah muncul dalam pikiran dan dipercayai, atau paling tidak secara samar-samar diterima oleh orang percaya, esensi pemilihan sejauh yang Alkitab wahyukan harus segera diajarkan.  Lebih lanjut ia menulis, “If we try to penetrate to God’s eternal ordination, that deep abyss will swallow us up.  But when God has made plain his ordination to us, we must climb higher, lest the effect overwhelm the cause.”[26]  Dengan kata lain, dengan mengikuti pola ordo cognoscendi, orang-orang percaya bisa belajar dan memahami bahwa “predestination is God’s eternal decree, by which he compacted with himself what he willed to become of each human being.”[27]  Singkatnya, di dalam usaha untuk memahami predestinasi, Calvin berpegang kepada prinsip “election precedes faith as to the divine order, but it is understood by faith.”[28]

Beza menegaskan bahwa prinsip Calvin di atas pada dasarnya sejalan dengan penjelasan rasul Paulus di dalam kitab Roma.  Di dalam kitab ini Paulus mengajarkan tentang pemilihan dengan memulainya dari fungsi pedagogis hukum Taurat, setelah itu dosa dan penebusan Kristus, iman, pembenaran, hidup saleh, baru kemudian pemilihan Allah, dan diikuti kembali oleh kehidupan rohani secara praktis.  Tidak mengherankan jika dikatakan bahwa Institutes edisi 1559 banyak dipengaruhi oleh tafsiran terhadap kitab Roma yang ditulis oleh Calvin sendiri pada tahun 1554.  Mengapa pola ini menjadi begitu signifikan dalam pembahasan tentang predestinasi?  Berikut adalah penilaian Beza terhadap pola yang Calvin lakukan,

For the brightness of the divine majesty suddenly or impetuously presented to the eyes—unless one has been accustomed to it by long and frequent exposure—will render one so blind that afterward even the understanding of lesser things will be impossible.[29]

Belajar dari Calvin, Beza menegaskan bahwa ketika kita mencoba untuk memahami predestinasi dengan memulainya dari first atau final causality di dalam rahasia kekekalan Allah, cara seperti itu hanya menyebabkan kita [p. 167] tidak bisa menarik makna barang sedikitpun, karena pada akhirnya mata kita akan tertutup terhadap dinamika karya Allah di dalam sejarah keselamatan manusia.[30]  Sedangkan F. Wendel menafsirkan bahwa Calvin memilih ordo cognescendi di dalam konteks soteriologis adalah karena seseorang yang mempelajari doktrin predestinasi dengan berangkat dari hakikat ketetapan-ketetapan Allah atau providensi Allah, atau membawa predestinasi di dalam kategori pembicaraan providensi Allah, maka hal itu memang bukan sesuatu yang sepenuhnya salah, melainkan “inopportune” (berbahaya).[31]

Pada bagian berikut kita akan melihat lebih lanjut pola pendekatan Calvin di atas dalam aplikasinya untuk memahami relevansi dan manfaat predestinasi bagi orang percaya.

PREDESTINASI SEBAGAI JAMINAN KESELAMATAN DAN PANGGILAN HIDUP KRISTEN YANG SALEH

Dengan ditempatkannya predestinasi di bawah topik keselamatan, Calvin ingin menunjukkan bahwa predestinasi pun merupakan bagian dari berkat-berkat yang diperoleh di dalam Kristus oleh orang-orang percaya.  Pengertian ini tidak bisa diabaikan begitu saja.  Itu sebabnya, sekalipun faktanya doktrin predestinasi mengandung “labyrinth” yang tak terselami sebagai bagian dari wahyu Allah, Calvin percaya bahwa predestinasi adalah very sweet fruit,[32] atau sesuatu yang sangat bermanfaat bagi orang percaya.  Seperti Agustinus ia mengatakan,

Must that which is manifest be denied because that which is hidden cannot be comprehended? . . . . why do these people of our time, though bound by the invincible force of truth, think it right for them to say: ‘Even if what is said of predestination . . . be true, yet it must not be preached to the people’?  Assuredly it must be preached so that ‘he who has ears to hear may hear’ . . . For as piety must be preached that . . . God may be rightly worshiped, . . . so also must be preached such a predestination . . . that he who has ears to hear of God’s grace may glory, not in himself but in God.[33]

Permasalahannya adalah, dalam hal apa dan bagaimana memahami predestinasi secara benar, sehingga doktrin ini benar-benar memberi manfaat bagi orang percaya?  Ini merupakan tanggung jawab yang Calvin merasa yakin terpanggil untuk menjawabnya. [p. 163]

Pertama-tama, mengikuti jejak rasul Paulus, khususnya berdasarkan Roma 9, Calvin berusaha untuk mengungkapkan rahasia ilahi di balik fakta adanya sebagian orang yang percaya Kristus dan sebagian lagi menolak setelah mendengar pemberitaan Injil.[34]  Fakta ini membawanya pada keyakinan berdasarkan wahyu Alkitab, bahwa perbedaan itu sepenuhnya terletak di dalam kedaulatan Allah untuk menyatakan anugerahnya, “. . . which in no way depends on men.”[35]  Itu sebabnya, di dalam tiga bab pertama dari empat bab penjelasannya tentang predestinasi di dalam Institutes (1559), ia berusaha untuk mengungkapkan bukan rahasia tentang predestinasi di dalam kekekalan, melainkan apa yang Alkitab nyatakan tentang anugerah pemilihan (election) dan keadilan penghukuman Allah (reprobation), sebagai dua hal yang Allah lakukan di dalam rahasia kehendak Allah.

Sebagai kebenaran yang disingkapkan dalam Alkitab, namun sekaligus bersifat rahasia, maka di dalam penjelasannya tentang hakikat predestinasi, argumentasi Calvin cenderung bersifat negasi.  Artinya, di satu pihak ia sendiri mengakui tidak mampu kalau harus menggambarkan secara rasional kedalaman arti pemilihan Allah.  Ia lebih memilih untuk berhenti pada alasan-alasan yang dinyatakan oleh Alkitab tentang rahasia kekal Allah, yaitu bahwa pemilihan (yang menyelamatkan maupun menghukum) adalah according to the good pleasure of his will (Ef. 1:5); which he had purposed in himself (Ef. 1:9), dan ayat-ayat lainnya seperti Yohanes 6:37, 39; Roma 9:20; 11:33.  Ia percaya bahwa di dalam ayat-ayat seperti Roma 9:20 dan 11:33, rasul Paulus sendiri bukan memberikan penjelasan, melainkan merupakan kalimat di mana ia berhenti dan dengan hormat mengagumi kedalaman hikmat Allah (Paul rested, for he found wonder).[36] Dalam tafsirannya terhadap Roma 9:20, Calvin menulis:

. . . in admitting that men are rejected or chosen by the secret counsel of God, Paul offers no explanation, as though the Spirit of God were silent for want of reason, and does not rather warn us by His silence—a mystery which our minds do not comprehend, but which we ought to adore with reverence . . . .  Let us know, therefore, that God refrains from speaking to us for no other reason than that He sees that His boundless wisdom cannot be comprehended in our small measure. Thus having pity on our frailty, He summons us to moderation and sobriety.[37] [p. 169]

Dengan kata lain, Calvin percaya sepenuhnya bahwa rahasia kehendak Allah berdiri di balik realita orang percaya dan tidak percaya, namun ia tidak mau berspekulasi lebih lanjut, tentang mengapa, bagaimana, atau seperti apa persisnya hal itu terjadi di dalam kekekalan karena Alkitab tidak mengatakannya.  Namun di lain pihak, ia menolak dengan tegas setiap gagasan yang seberapapun masuk akalnya, tetapi tidak sejalan dengan keutuhan dan kejelasan berita Alkitab tentang pemilihan.  Seperti gagasan tentang: prapengetahuan sebagai landasan pemilihan, perbuatan baik manusia yang mempengaruhi pemilihan Allah, dan pembedaan antara kehendak Allah dan izin Allah; hal-hal mana menyebabkan kehendak Allah baik di dalam menyelamatkan maupun menyatakan keadilan-Nya yang menghukum jadi menyimpang dari berita Alkitab sebenarnya.

Calvin yakin sepenuhnya berdasarkan Alkitab bahwa kehendak Allah sebagai dasar utama keselamatan harus ditegakkan.  Kepentingannya adalah sebagai jaminan keselamatan, yaitu bahwa keselamatan bukan berdasarkan perbuatan baik kita, melainkan sepenuhnya karena kemurahan Allah.  Ia mengatakan: “we shall never be clearly persuaded, as we ought to be, that our salvation flows from the wellspring of God’s free mercy until we come to know his eternal election, . . . .”  Masalahnya, jikalau dalam hal keselamatan, kebebasan manusia memiliki peran yang signifikan, maka keselamatan menjadi sesuatu yang tidak pasti.  Sebab apa standarnya?  Sampai batas mana manusia harus melakukan kebaikan?  Belum lagi adanya realita dosa yang sangat serius dalam diri manusia.  Tetapi jika keselamatan bergantung kepada ketetapan Allah sendiri, maka tidak ada hal apapun juga di bumi maupun di surga yang bisa membatalkan ketetapan Allah tersebut.

Kendati demikian, tentang bagaimana orang percaya bisa sampai kepada pemahaman tentang predestinasi yang mendatangkan jaminan keselamatan, ia tidak ingin menyederhanakan masalah yang memang tidak sederhana ini—karena realita bahwa ketetapan Allah bersifat misteri dan rahasia—dengan mendasarkan jaminan keselamatan itu kepada penyelidikan secara rasional terhadap esensi pemilihan Allah.  Hal mana memang tidak mungkin terjadi.  Ia lebih memilih untuk menempatkan predestinasi di ujung pergumulan iman orang-orang yang percaya kepada Kristus.  Itulah sebabnya, setelah ia menguraikan dasar-dasar firman Tuhan tentang predestinasi ganda,[38] maka satu bab terakhir tentang predestinasi di dalam buku III Institutes (1559) ia gunakan untuk menjelaskan relasi yang erat antara predestinasi dan soteriologi secara induktif (ordo cognoscendi) sehingga manfaat doktrin predestinasi sebagai jaminan keselamatan nampak sangat jelas.

Ada beberapa hal penting yang bisa kita pelajari dari pola pendekatan ordo cognescendi di dalam konteks soteriologi untuk memahami predestinasi yang akan diuraikan berikut ini. [p. 170]

Dari sebab dekat (proximate cause) ke sebab utama (ultimate cause)

Di dalam tafsirannya terhadap Efesus 1:5-8, Calvin menarik kesimpulan bahwa ada empat sebab keselamatan yang terjadi pada diri seseorang: pertama, kehendak Allah (God’s will) sebagai yang menyebabkan pilihan-Nya pasti terlaksana (efficient cause); kedua, sebab yang dapat dilihat (material cause), yaitu Yesus Kristus; ketiga, sebab yang membuat pilihan Allah teraplikasi dalam diri orang berdosa (final cause), yaitu anugerah; dan keempat, sebab yang membuat kebaikan atau anugerah Allah sampai kepada umat manusia (formal cause), yaitu pemberitaan Injil.[39]  Di antara keempat macam sebab ini, efficient dan final cause adalah bagian dari misteri Allah, yang pasti terjadi namun tak mungkin dapat diselami.  Karena itu, pemilihan sebagai jaminan keselamatan hanya dapat dipahami ketika kita mulai menggumulinya dari bagaimana anugerah pemilihan itu sampai pada kita, yaitu jika kita memulainya dari material cause dan formal cause.  Yesus Kristus sebagai material cause akan kita bahas kemudian.  Pada bagian ini kita akan membahas sedikit lebih jauh arti formal cause.

Formal cause, atau sebab yang membuat anugerah atau kebaikan Allah itu sampai pada kita merupakan sebab yang terdiri dari tiga hal yang saling berkaitan, yaitu panggilan firman (calling), pekerjaan Allah Roh Kudus secara internal, dan iman.  Kita akan melihat apa yang Calvin maksudkan tentang hal ini:

Although in choosing his own the Lord already has adopted them as his children, we see that they do not come into possession of so great a good except when they are called; conversely, that when they are called, they already enjoy some share of their electionFor this reason, Paul calls the Spirit, whom they receive, both ‘Spirit of adoption’ [Rom. 8:15] and the ‘seal’ and ‘guarantee of the inheritance to come’ [Eph. 1:13-14; cf. IICor. 1:22; 5:5]. For he surely establishes and seals in their hearts by his testimony the assurance of the adoption to come. . . .  Even though the preaching of the gospel streams forth from the wellspring of election, . . . .  But God effectively teaches his elect that he may lead them to faith.[40]

Dengan kata lain, jaminan keselamatan itu memang bersumber di dalam tahta Allah yang Mahakudus, namun Tuhan tidak pernah meminta kita untuk naik ke hadirat-Nya yang kudus (selama kita di bumi).  Allah menghendaki kita untuk melihat kepada “. . . which is near us, in our mouth and heart, . . . in his outward Word, God may sufficiently witness his secret grace to us, provided only the pipe, from which water abundantly flows out for us to drink, does not [p. 171] hinder us from according its due honor to the fountain.”[41]  Dengan menggumuli firman di dalam iman dan pekerjaan Roh Kudus itulah kita akan dibawa kepada posisi rohani, sebagaimana dikatakan oleh rasul Petrus, di mana panggilan (klÄ“sis) dan pilihan (eklogÄ“) kita makin teguh (2Ptr. 1:10).  Namun sekali lagi, di sini Calvin sama sekali bukan berkata bahwa usaha manusia yang menyebabkan pilihan, melainkan yang lebih ingin ia tekankan adalah bagaimana kita sampai kepada “God’s eternal ordination” sebagai jaminan keselamatan.  Ia mengatakan: “Let this, therefore, be the way of our inquiry: to begin with God’s call, and to end with it.”[42]

Kristus sebagai “The Mirror of Election”

Dari beberapa kutipan di atas telah ditunjukkan keyakinan Calvin bahwa manusia tidak mungkin sanggup untuk mendaki secara langsung ke dalam misteri ketetapan kekal Allah.  Namun terdorong oleh panggilan untuk membuktikan dan menunjukkan bahwa pemilihan kekal Allah merupakan jaminan keselamatan manusia dan bukan sebagai problema metafisika, maka cara yang berikutnya adalah ia berusaha untuk tidak secara langsung menarik hubungan antara apa yang terjadi di dalam kekekalan (eternity) dan keselamatan yang terjadi pada manusia di dalam dunia ini (temporal).  Artinya, ia tidak ingin terjebak ke dalam silogisme: “Karena aku dipilih, maka aku diselamatkan.”  Sekalipun secara ontologis kalimat ini pasti disetujui oleh Calvin, namun ia memandang bahwa hal itu berbahaya.[43]  Ia lebih mengarahkan argumentasi berikutnya kepada keberadaan Yesus Kristus yang adalah Allah-manusia sebagai titik temu antara apa yang terjadi di dalam kekekalan dan keselamatan yang dialami oleh manusia.  Ia menegaskan: “First, if we seek God’s fatherly mercy and kindly heart, we should turn our eyes to Christ, . . . Christ, then, is the mirror wherein we must, and without self-deception may, contemplate our own election.”[44]  Di sinilah terjadi interpenetrasi antara paham tentang Kristus dan predestinasi.  Seperti yang ditafsirkan oleh Ricahrd A. Muller, di dalam pemahaman Calvin, “Viewed from the human side, from the point of view of temporality and finitude, the working out of God’s plan in believers and the person of the mediator are inseparable.”[45] [p. 172]

Mengarahkan iman kepada Kristus di sini memiliki makna yang sangat dalam, sebab berarti kita bukan hanya sekadar believe in Him (Yoh. 3:16), tetapi lebih dari itu kita percaya: (1) kepada Yesus Kristus sebagai dasar pilihan Allah di dalam kekekalan, yang sekaligus merupakan jaminan kekal yang tak tergoyahkan (Ef. 1:4-6); (2) Kristus di dalam sejarah, menyatakan pemilihan kita oleh Allah di dalam kekekalan (Ef. 1:7-9); (3) Kristus menyingkapkan tujuan pemilihan Allah, yaitu menjadi serupa dengan Kristus (Rm. 8:29), mengenakan Kristus sebagai perlengkapan senjata terang (Rm. 13:14), dan bertumbuh ke arah Kristus (Ef. 4:15).  Hal yang terakhir ini menurut Calvin, sekaligus merupakan panggilan bagi setiap orang percaya untuk memiliki ketekunan dan hidup yang kudus (perseverance).[46]  Melalui union with Christ inilah kita juga akan dibawa kepada jaminan keselamatan yang berdasarkan kepada pemilihan kekal Allah.  Calvin mengatakan: “What did Christ wish to have us learn from this but to trust that we shall ever remain safe because we have been made his once for all?[47]

Reprobasi Sebagai Misteri Penyataan Keadilan Allah

Calvin memandang perlu untuk tetap mengajarkan predestinasi, mengingat pertanyaan tentang hal ini pasti akan secara otomatis muncul di dalam pembicaraan tentang pemilihan Allah yang menyelamatkan.  Lagi pula, titik awal pembahasan predestinasi menurutnya adalah realita mengapa sebagian orang percaya kepada Kristus setelah mendengar pemberitaan Injil dan sebagian lagi tidak.[48]  Realita ini telah membawanya kepada ultimate cause di dalam misteri kehendak Allah.

Namun demikian, ketika kita masuk ke dalam pembicaraan tentang reprobasi—di mana Allah membiarkan (passes over/praeterit) sebagian orang di dalam dosanya untuk menerima hukuman (reprobat)—Calvin menekankan bahwa kita tidak bisa memikirkannya sebagai dua hal yang bersifat paralel.  Artinya, sekalipun pemilihan dan reprobasi adalah dua hal yang memiliki ultimate cause di dalam misteri kehendak Allah, dan juga memiliki sebab yang dekat dengan manusia (proximate cause), namun ia melihat bahwa yang membedakan keduanya adalah: jikalau dalam hal anugerah pemilihan proximate cause itu sama sekali tidak berasal dari manusia (perbuatan manusia tidak diperhitungkan sebagai penyebab), maka di dalam hal penghukuman kekal Allah (reprobation), proximate cause mengandung aspek kebebasan dan natur berdosa manusia (perbuatan berdosa manusia turut menyebabkan penghukuman).  Ia berkata: “we should contemplate the evident cause of [p. 173] condemnation in the corrupt nature of humanity—which is closer to us—rather than seek a hidden and utterly incomprehensible cause in God’s predestination.”[49]  Tetapi apakah hal ini berarti Allah secara aktif menyebabkan manusia berbuat dosa?

Calvin, di dalam Institutes, memang mengatakan bahwa “the will and immutable decree of God is the single cause of all that is and will be.”[50]  Tetapi ia sama sekali tidak bermaksud untuk melemparkan tanggung jawab atas perbuatan dosa kepada divine causality (sebab ilahi), sehingga seolah-olah manusia tidak bertanggung jawab atau hanya merupakan alat saja di tangan Allah.  Di dalam kasus kejatuhan Adam ke dalam dosa, Calvin mengatakan, “Adam could have stood if he wished, seeing that he fell solely by his own will.”[51]  Tetapi bagaimana hal ini tidak berkontradiksi dengan pernyataan Calvin sebelumnya bahwa ketetapan Allah adalah “the single cause of all that is and will be?”

Pertama-tama, Calvin ingin mengajak kita untuk menjauhkan Allah dari posisi yang secara aktif menyebabkan terjadinya perbuatan jahat (dosa).  Di dalam bukunya, The Secret Providence of God, ia mengatakan kepada lawan yang menuduhnya telah mengajarkan Allah yang secara aktif menyebabkan dosa,  

Now tell me, did I, who in all my writings so reverently and solemnly declare that whenever and wherever sin is mentioned the Name of God should be kept in all solemnity wide out of the way; did I ever, or anywhere, assert that “evil doings were perpetrated, not only by the design, but by the authority of God? . . .  Let not my name, therefore, ever be associated with its horrible profanity.[52]

Kedua, untuk menjawab problema di atas, Calvin tidak memilih argumentasi yang membedakan ketetapan Allah dengan izin Allah.  Sebuah pembedaan yang pada hakikatnya sama saja.  Tetapi Calvin tetap percaya bahwa kehendak Allah adalah the single cause of all that is and will be.  Jika demikian, bagaimana Allah bukan sebagai penyebab aktif perbuatan dosa manusia?  Di dalam buku yang sama (The Secret Providence of God), ia berangkat dari asumsi bahwa sebuah tindakan dikatakan berdosa adalah karena motivasi (motive) yang salah dan tujuan (ends) yang jahat.  Jadi, ketika seseorang membunuh atau mencuri, perbuatan itu berdosa adalah karena motivasi yang salah dan tujuan yang jahat.  Ia kemudian menyimpulkan: “If, then, an evil deed is thus to be estimated according to its end and object, it is fully manifest that God is not, nor can be, the author of sin![53]  Lebih lanjut ia mengemukakan, [p. 174]

The sum of the whole great matter is this: Since an evil will, in men, is the cause of all and every sin, God, in performing His righteous councels by the hands of men, is so far from being involved in the same sin and fault with men, that in a marvelous manner He causes, by their means, the light of His glory to shine forth out of darkness . . . nothing is more impious or more preposterous than to drag God into a participation of sin or guilt with man, while He is performing His secret judgments by means of the hands of men and the devil, because there is no affinity whatever between the motives and ends of God and those of men and devils.[54]

Dengan demikian, di dalam kasus-kasus seperti pengerasan hati Firaun, atau Yudas, Calvin berpendapat, pertama, kita mesti melihat adanya tujuan mulia dari Allah yang tak terselami dan hikmat-Nya yang Mahabenar yang tak tergapai.  Kedua, adanya perbedaan kategori yang tak terseberangi antara kekekalan dan kesementaraan, sehingga kita tidak bisa mengukur apa yang Allah lakukan di dalam kekekalan dengan kategori temporal.  Itu sebabnya ia menutup penjelasannya tentang predestinasi dengan pernyataan berikut: “For as Augustine truly contends, they who measure divine justice by the standard of human justice are acting perversely.”[55]

Namun, kembali kepada konteks soteriologi di dalam pembicaraan tentang predestinasi, maka fungsi paham reprobasi bagi orang-orang percaya menurut Calvin sebenarnya sama halnya dengan anugerah pemilihan Allah, yaitu menyadarkan orang-orang percaya supaya obediently marveled at, wonder, humble, dan tremble di hadapan kemahakuasaan Allah yang tak terselami, namun yang telah dinyatakan dalam Alkitab.[56]  Sebagai bagian dari predestinasi, maka sama seperti pemilihan Allah pula, paham reprobasi juga ada di ujung pergumulan iman orang-orang yang percaya kepada Kristus. 

KESIMPULAN

Dengan menempatkan doktrin predestinasi di dalam konteks soteriologi, Calvin berusaha untuk menunjukkan bahwa fungsionalitas predestinasi sebagai dasar jaminan keselamatan dapat ditimba oleh setiap orang percaya.  Hal ini dapat terjadi apabila kita memulai pemahaman tentang predestinasi dengan berangkat dari latter signs atau tanda-tanda keselamatan yang Allah nyatakan kepada kita, dan dengan memandang kepada Yesus Kristus sebagai the mirror of election.  Cara seperti ini sudah tentu bukan jaminan untuk meniadakan sifat misteri doktrin predestinasi, melainkan justru karena kesadaran bahwa doktrin ini penuh dengan misteri ilahi. [p. 175]

Dengan demikian, cara yang dipakai oleh Calvin ini membawa orang percaya kepada sebuah relasi yang paradoks antara pergumulan iman tentang jaminan keselamatan dan predestinasi.  Di satu pihak, predestinasi sebagai misteri (namun yang telah dinyatakan oleh Allah) adalah penyebab iman, di lain pihak hal itu hanya bisa dipahami ketika iman sebagai yang berkaitan dengan kepastian atau jaminan membawa kita kepada rahasia predestinasi Allah.  Jadi di sini, pergumulan dengan kebenaran predestinasi bersifat dua arah.  Artinya, kita berangkat dari keyakinan berita Alkitab tentang ketetapan Allah sebagai sumber keselamatan kita, namun keyakinan itu baru dapat benar-benar kita gapai ketika kita menempatkan ketetapan Allah di ujung pergumulan iman kita. 

Mengutip perkataan Agustinus, Calvin berkeyakinan bahwa menggumuli predestinasi berarti “we entered the pathway of faith.[57]  Ketika iman kita membawa kepada keyakinan anugerah pemilihan Allah, dampak baliknya adalah penghiburan dan sekaligus panggilan untuk hidup suci.  Namun yang terpenting di dalam usaha memahami predestinasi adalah “let us hold steadfastly to it [faith].  It leads us to the King’s chamber, in which are hid all treasures of knowledge and wisdom.”[58]

 


 

Notes

 

[1]John Calvin, Institutes of the Christian Religion (Ed. 1559, ed. John T. McNeill, tr. F. L. Battles; Philadelphia: Westminster, 1960) III.xxi.1.

[2]John Calvin, Calvin’s Calvinism: Treatises on the Eternal Predestination of God and the Secret Providence of God (pertama kali diterbitkan di Jenewa tahun 1558 [tr. Henry Cole; Grand Rapids: Eerdmans, 1950] 266, 286-287).

[3]Kata pengantar H. Cole dalam terjemahan buku John Calvin, Treatise on the Eternal Predestination of God 6.

[4]John T. McNell (ed.), Calvin: On the Christian Faith (New York: Bobbs-Merill, 1957) xxii.

[5]Cole, Calvin’s Calvinism 6.

[6]Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa tema sentral seluruh ajaran Calvin ada di dalam paham predestinasi, seperti pernah disetujui oleh kebanyakan sejarawan dan teolog abad 19, namun tidak lagi diterima oleh para teolog Reformed belakangan ini (lih. François Wendel, Calvin: Origins and Development of His Religious Thought [Grand Rapids: Baker, 1997] 263-64; bdk. Fred H. Klooster, Calvin’s Doctrine of Predestination [2nd edition; Grand Rapids: Baker, 1977] 12-13).

[7]John Calvin, Concerning the Eternal Predestination of God (tr. J. K. S. Reid; London: Clarke, 1961) 61.

[8]Calvin, Institutes III.xxi.3.

[9]Richard A. Muller, The Unaccomodated Calvin: Studies in the Foundation of Theological Tradition (New York: Oxford, 2000) 3.

[10]Tentunya dengan tidak mengabaikan sumber-sumber tulisan Calvin lainnya.

[11](Ed. A. N. S. Lane, tr. G.I. Davies; Grand Rapids: Baker, 1996), dalam bahasa Latin: Defensio sanae et orthodoxae doctrinae de servitute et liberatione humani arbitrii adversus calumnies Alberti Pighii Coampensis.

[12](Tr. & ed. Benjamin W. Farley; Grand Rapids: Baker, 1982), bah. Latin: Contre la secte phantastique et furieuse des Libertins que se nomment Spirituels.

[13](Tr. J. K. S. Reid; London: Clarke, 1961) bah. Latin: Da aeterna Dei praedestinatione; dan idem, Calvin’s Calvinism: Treatise on the Eternal Predestination of God and the Secret Providence of God (tr. Herny Cole, Geneva 1558, cetak ulang; Grand Rapids: Eerdmans, 1950).

[14]Lihat Richard A. Muller, “The Use and Abuse of a Document: Beza’s Tabula Praedestinationis, The Bolsec Controversy, and the Origins of the Reformed Orthodoxy, Prostestant Scholasticism: Essays in Reassessment (ed. Carl R. Trueman & R. Scott Clark; Cumbria: Paternoster, 1999) 40-41.

[15]Lihat Klooster, Calvin’s Doctrine of Predestination 21.

[16]Theodore Beza, The Life of John Calvin by Theodore Beza (tr. Henry Beveridge; Philadelphia: 1909) 12.

[17]John Calvin, Institutes of the Christian Religion (Edisi 1536, tr. Ford Lewis Battle; Grand Rapids: Eerdmans, 1975) II.xvi.9; cetak tebal adalah dari saya.

[18]Ibid. III.xxii.1.

[19]Ibid. IV.i.2.

[20]Ibid. IV.i.17.

[21]Providensi sering dimengerti sebagai ketetapan-ketetapan rahasia dan kekal Allah secara umum terhadap dunia ciptaan-Nya, sedangkan predestinasi berkaitan dengan pemilihan untuk hidup kekal atau membiarkan (passing by) orang di dalam dosa-dosanya (reprobation).

[22]Edward A. Dowey, Jr., The Knowledge of God in Calvin’s Theology (Grand Rapids: Eerdmans, 1995) 218.

[23]Ibid. 241.

[24]Institutes, III.xxiv.4; huruf tegak adalah penekanan dari saya.  Yang dimaksud oleh Calvin dengan “latter signs” (signis posterioribus) adalah tanda-tanda keselamatan yang dialami oleh orang percaya, antara lain, panggilan, firman, karya Kristus, pencerahan Roh Kudus, dan iman (lih. III.xxiv.1-3).

[25]Ibid.

[26]Ibid. III.xxiv.3.

[27]Ibid. III.xxi.5.

[28]Calvin, Concerning the Eternal Predestination of God 127; bdk. Institutes, III.xxi.5, 7; xxiv.1, 3.

[29]Muller, The Use and Abuse of a Document 53.

[30]Ibid.

[31]Wendel, Calvin: Origins and Development of His Religious Thought 268.

[32]Institutes, III.xxi.1.

[33]Ibid. III.xxiii.13.

[34]Ibid. III.xxi.1; bdk. John Calvin, The Epistle of Paul the Apostle to the Romans and to the Thessalonians (tr. Ross Mackenzie; Grand Rapids: 1961) 190 dst.  Prinsip yang sama juga dipakai oleh Calvin dalam bukunya yang lain, yaitu Cathecism 1537, untuk jemaat di Geneva.

[35]Calvin, Romans 199.

[36]Institutes (1559) III.xxiii.5.

[37]Calvin, Romans, 209; bdk. Institutes, III.xxiii.5.

[38]Allah, di dalam rahasia kehendak-Nya, memilih sebagian orang untuk diselamatkan dan membiarkan sebagian orang binasa di dalam dosa-dosanya.

[39]John Calvin, Commentaries on the Epistle of Paul to the Galatians and Ephesians (tr. William Pringle; Grand Rapids: Eerdmans, 1948) 200, 203.

[40]Institutes (1559) III.xxiv.1; bdk. Calvin, Ephesians, 203-204; huruf tegak dari saya.

[41]Ibid. III.xxiv.3.

[42]Ibid. III.xxiv.4, bdk. John Calvin, Commentaries on the Catholic Epistle (tr. John Owen; Grand Rapids: Eerdmans, 1948) 376-377.

[43]Lihat Richard A. Muller, Christ and the Decree: Christology and Predestination in Reformed Theology from Calvin to Perkins (Grand Rapids: Baker, 1986) 26-27; bdk. Klooster, Calvin’s Doctrine of Predestination 51-52.

[44]Institutes (1559) III.xxiv.5.

[45]Muller, Christ and the Decree 38.

[46]Institutes (1559) III.xxiv.5.

[47]Ibid.

[48]Ibid. III.xxi.1.

[49]Ibid. III.xxiii.8.

[50]Ibid. I.xvi.8; bdk. III.xxiii.7-8.

[51]Ibid. I.xv.1, 8, huruf tegak dari saya.

[52]John Calvin, The Secret Providence of God 302.

[53]Ibid. 303.

[54]Ibid. 304.

[55]Institutes (1559) III.xxiv.17.

[56]Ibid. III.xxi.1; III.xxiii.5; III.xxiv.17.

[57]Ibid. III.xxi.2.

[58]Ibid.